Lihat ke Halaman Asli

Quo Vadis Tim Evaluasi Renegosiasi Kontrak Karya?

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana Renegosiasi kontrak karya pertambangan menemukan gaungnya sejak pertengahan tahun 2011 lalu, dimana tenggat waktu mandat UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara sudah jatuh tempo, yakni satu tahun pasca diundangkannya UU dimaksud, harus sudah selesai dilakukan Renegosiasi kontrak-kontrak karya pertambangan batubara di Indonesia. Tetapi hingga batas waktu itu terlewati, tidak ada satu pun perkembangan berarti dari proses renegosiasi tersebut, sehingga IHCS akhirnya berketetapan untuk mencari celah hukum –khususnya dalam masalah kontrak karya Freeport, dalam hal ini adalah adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penandatangan perjanjian Kontrak Karya pada tahun 1991 yakni oleh Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia, karena didapati bahwa pembayaran Royalti emas yang disepakati oleh kedua belah pihak adalah sebesar 1%, sementara itu, Pemerintah Indonesia pada tahun 2003 mengeluarkan beleid Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2003 tentang Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di kementerian ESDM.

Dalam PP 45/2003 tersebut diatur besaran royalti yang harus dibayarkan oleh para kontraktor pertambangan adalah sebesar 3,75%, lebih tinggi dari kesepakatan yang diatur dalam Kontrak Karya Freeport yang hanya sebesar 1%.  Hal ini tentu saja bertentangan dengan asas dan syarat sahnya perjanjian itu sendiri, yakni Pasal 1320 KUHPerdata mensyaratkan : 1. Cakap, 2. Sepakat, 3. Hal Tertentu, 4. Sebab yang Halal (tidak bertentangan dengan hukum dan asas kepatutan).

Angka  4 diatas, jelas sekali mengatur bahwa suatu perjanjian haruslah dilandasi sebab yang halal, yang tidak bertentangan dengan hukum atau peraturan perundangundangan. Menilik pada Kontrak Karya Freeport, yang hanya mengatur royalkti 1%, sementara PP No.45/2003 menetapkan Royalti emas sebesar 3,75%, jelas sekali Kontrak Karya tersebur bertentangan dengan hukum dan atau peraturan perundangundangan. Inilah salah satu dasar gugatan IHCS yang di ajukan di PN.Jaksel beberapa waktu lalu, dan dalam perkembangannya Hakim PN.Jaksel telah menjatuhkan Putusan Sela yang memerintahkan untuk melanjutkan sidang ke pokok perkara, dengan menolak eksepsi (keberatan) para tergugat yang berkeras bahwa perjanjian/Kontrak Karya adalah Undang-undang bagi pembuatnya, sesuai asas perjanjian “Facta Sunt Servanda”. Sehingga IHCS dengan sendirinya tidak berwenang untuk memperkarakan isi perjanjian/kontrak karya tersebut ke pengadilan, karena bukan pihak penandatangan perjanjian.

Merespon putusan sela yang telah dijatuhkan majelis hakim tersebut, dan menyambut agenda sidang berikutnya tanggal 14 Februari 2012 nanti adalah pembuktian, maka kami sedang menyiapkan bukti-bukti yang tentu saja mendukung dalil-dalil gugatan yang telah kami ajukan sebelumnya, termasuk juga kami sedang menyiapkan beberapa ahli fakta dan saksi ahli sesuai dengan keahliannya, untuk juga mendukung dalil-dalil gugatan kami. Kami akan all out mengahdapi sidang-sidang berikutnya, demi penegakan kedaulatan rakyat indonesia atas sumber-sumber daya produktifnya yakni agraria (bumi, air dan udara) serta sumber daya alam yang terkandung didalamnya harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai mandat Pasal 33 UUD 1945.

Tim Evaluasi

Merespon gencarnya desakan agar pemerintah segera melakukan renegosiasi kontrak-kontrak karya pertambangan batubara, Presiden SBY menerbitkan Kepres No. 3 tahun 2012 tertanggal 10 Januari 2012 lalu tentang pembentukan Tim Evaluasi untuk Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Tim dipimpin oleh menko Perekonomian Hatta Rajasa, sementara Menteri ESDM Jero Wacik bertindak sebagai Ketua Harian merangkap anggota.  Anggota-anggota Tim Evaluasi ini adalah Menkeu Agus Martowardoyo, Mendagri Gamawan Fauzi, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, Menperin MS. Hidayat, Menperdag Gita Wiryawan, Menhut Zulkifli Hasan, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Seskab Dipo Alam, Jaksa Agung Basrief Arief, Kepala BPKP Mardiasmo, dan Kepala BKPM.

Keppres Nomor 3 tahun 2012 menyebutkan, tugas Tim Evaluasi adalah melakukan evaluasi terhadap ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan. Tim juga bertugas menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk penyelesian penetapan luas wilayah kerja dan penerimaan negara terkait posisi pemerintah dalam melakukan renegoisasi penyesuaian kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara.

Selain itu, tim juga bertugas menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk pelaksanaan kewajiban pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara terhadap pengelolaan dan/atau pemurnian mineral dan batubara. Dalam melaksanakan tugas, Tim Evaluasi dapat melibatkan Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian, pemerintah daerah, pemangku kepentingan, dan pihak lain yang dipandang perlu. Tim Evaluasi juga dapat membentuk Sekretariat dan Kelompok Kerja, yang tugas dan susunan keanggotaannya ditetapkan oleh Ketua Tim Evaluasi.

Tim Evaluasi ini bertugas sejak penandatanganan Keppres No. 3/2012 sampai dengan Desember 2013. Tim bertanggung jawab dan melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Presiden setiap enam bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

Hingga saat ini, sejak dibentuknya tim ini, belum nampak adanya perkembangan signifikan dari kerja-kerja serta capaian apa yang telah dilakukan oleh tim ini, mengingat pentingnya proses renegosiasi kontrak-kontrak karya tersebut, disamping telah dimandatkan oleh UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba, hal ini juga akan berakibat pada akumulasi kerugian negara yang lebih besar lagi, jika proses renegosiasi tersebut tidak segera dilakukan. Menurut hitungan IHCS saja, sejak tahun 2003 lalu sampai tahun 2010, mengacu pada kewajiban PT. Freeport membayar royalti emas sebesar 3,75% sesuai PP 45/2003 adalah sebesar US$256,2 Juta. Hal itu akibat dari kekurangan pembayaran royalti Freeport kerena yang disepakati dalam Kontrak Karya tahun 1991 hanya sebesar 1%. Itu baru dari satu korporasi saja, bagaimana dengan yang lainnya? Berapa kerugian yang diderita negara ini, dan itu tentu saja berakibat pada menurunnya kemampuan negara dalam menyejahterakan rakyatnya sesuai dengan mandat Konstitusi.

Anehnya, dalam ketentuan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba itu sendiri terjadi pertentangan antar pasal-pasalnya, yang mengatur mengenai kewajiban negara dalam hal penyesuaian kontrak-kontrak karya dan PKP2B, lebih ironis lagi adalah salah satu pasal dalam UU No. 4 tahun 2009 tersebut juga seakan-akan melegalkan dan menguatkan posisi para kontraktor/korporasi-korporasi besar semacam Freeport itu untuk bertahan dengan posisi kontrak karya yang telah ditandatangi pada tahun 1991 lalu. Semisal dalam ketentuan peralihan Pasal 169 huruf (a) menyatakan :Kontrak Karya dan perjanjian karya  pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/ perjanjian”.

Pasal inilah yang menjadi alasan kuat para pemangku kepentingan khususnya korporasi-korporasi itu bertahan untuk tidak melakukan renegosiasi kontrak karyanya.

Selanjutnya, Pasal 169 huruf (b) menyatakan, Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya  pengusahaan pertambangan batubara  sebagaimana dimaksud pada huruf (a) disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu)  tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara”.

Dalam penjelasannya disebutkan, “Semua pasal yang terkandung dalam kontrak karya dan  perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara  harus disesuaikan dengan Undang-Undang”.

Prasa “kecuali mengenai penerimaan negara” ini, berarti pengecualian untuk penyesuaian mengenai ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan PKP2B dalam soal penerimaan negara boleh lebih dari 1 tahun, hal ini jelas melegitimasi kerugian negara terus menerus yang hingga entah sampai kapan hal itu akan berakhir, meski memang Kepres No.3 tahun 2012 mengamanatkan dan memberikan batas waktu tim evaluasi sampai Desember 2013, tetapi apakah mandat itu terlaksana atau tidak, saya kira sesuatu yang absurd untuk kita percayai, jika menilik pada prestasi-prestasi pemerintahan ini dalam hal capaian-capain strategis ditingkat pemenangan perkara-perkara yang melibatkan pemerintah versus korporasi atau pemodal besar. Wallahua’lam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline