Lihat ke Halaman Asli

Berantakan

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada malam dingin di bulan kesebelas, waktu itu hujan lebat, aku bangga dengan hujan yang turun. Makna  terbesar kutemui, semua keluarga berkumpul untukmenyatakan kasih sayang mereka, malam terakhir yang kuingat tentang arti kebahagiaan. Aku benar-benar ingat bagaimana satu persatu keluarga tersenyum dan seminggu keudian semua berantakan, persis seperti gelas jatuh dari loteng lantai tiga. Masih jelas siapa orang yang melempar gelas itu.

Seminggu kemudian, pukul sepuluh matahari panas menyengat, aku berdiri disuatu tempat yang jauh dari rumah. Jesh menyodorkan teh hangat dalam gelas besar, hampir separonya berisi balokan es batu. Sedangkan mataku liar mencoba mengenali setiap sudut tempat, sambil meneguk minuman pemberian Jesh, aku tahu sore akan turun hujan.

Satu-satunya orang yang kukenal hanya Jesh, tujuh bulan sudah, tidak mudah hidup disebuah lingkungan baru.

Bulan berikutnya aku pindah kota, sebenarnya untuk menghindari hujan lebat yang turun setiap hari. Jesh memberikan pendapat sebelum aku pergi, bahwa hampir semua daerah dinegri ini mempunyai tekstur iklim yang hampir sama, jadi kemanapun aku pergi tetap akan diguyur hujan lebat. Sebenarnya berat meninngalkan Jesh, dia begitu baik dan peduli.

Beberapa kali aku pindah dari satu kota ke kota lain, sampai berbulan-bulan, akhirnya musim kearau tiba.

Suatu hari aku bertemu Jesh lagi, dia mengatakan betapa sempit dunia ini, sambil tertawa. Jesh mengajari tentang beberapa teori kehidupan sederhana, agar mudah aku ingat. Aku menyadari banyak yang tidak aku ingat sejak semua berantakan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline