Tepat pada 10 Desember dunia akan disibukkan dengan peringatan Universal Declaration of Human Rights. Deklarasi ini didengungkan 73 tahun yang lalu dan hingga kini mewarnai kehidupan politik, budaya, dan hukum seluruh bangsa di dunia. Walaupun dulu negara-negara tertentu yang menjadi motor perumusannya bukan berarti human rights hanya jadi urusan mereka. Human Rights adalah isu milik semua bangsa, termasuk Indonesia.
Konsep hak asasi manusia itu selalu berkembang. Makna kebutuhan asasi itu tidak statis. Kini, lingkungan yang sehat dikategorikan sebagai kebutuhan dasar. Semua bangsa dari hampir semua generasi kini mendengungkan isu lingkungan. Satu hal yang paling mencolok dari penyuaraan tuntutan ini adalah peran pemuda yang selalu rajin mengingatkan korelasi antara kepedulian nyata saat ini dengan kehidupan masa depan, kehidupan yang akan dijalani oleh generasi muda kelak. Bagi para pemuda, human rights adalah keadilan iklim. Semuanya itu bisa dipenuhi hanya dengan kesadaran bahwa apapun yang dicita-citakan untuk masa depan tidak mungkin tercapai tanpa tindakan nyata masa kini. Inilah intergenerational justice yang terus disuarakan para pemuda itu.
Mari kita lihat lagi gerakan para pemuda itu. Mulai dari Greta Thunberg yang dengan galak dan tegasnya mengkritik secara langsung para pemimpin dunia di berbagai forum internasional. Kemarahan yang dilandasi kekecewaan itu lantas menulari para pemuda seantero dunia. Sebenarnya, dalam skala nasional banyak tokoh muda yang menginisiasi climate awareness di negara masing-masing. Namun, untuk tokoh yang menjadi simbol, nama Greta layak diingat. Kini, bersama youth di seluruh dunia Greta dan para pemuda menuntut keadilan iklim melalui gerakan yang teorganisir: Fridays For Future (https://fridaysforfuture.org/).
Dalam COP 26 Glasgow lalu, para pemuda kembali mengingatkan kita tentang keadian iklim melalui pidato di dalam pertemuan COP dan aksi protes di luar gedung pertemuan. FFF movement kembali menyuarakan perlunya aksi nyata dengan tagline yang sangat mengena "Blah, blah, blah". Hentikan kebiasaan hanya berwacana dalam untaian kalimat diplomasi yang indah, take action, tuntut mereka lagi. Tidak bosan mereka menyampaikan bahwa aksi nyata untuk lingkungan (iklim) adalah kebutuhan dasar saat ini yang dengan jelas memiliki pengaruh besar untuk masa depan.
Bagaimana dengan Indonesia? Pada COP 26 yang sama, Indonesia telah menyampaikan komitmennya tentang zero emission sekaligus dengan lantang mengajak negara maju untuk berkontribusi nyata. Ditambah pula dengan amanat presidensi G20, Indonesia diharapkan mampu menggerakkan aksi nyata untuk menciptakan a safer future, persis seperti tuntutan para pemuda tadi. Namun, di sisi lain protes berkaitan komitmen lingkungan masih berdatangan silih berganti. Sebagian dianggap berkelindan dengan politik. Sebagian pula diselesaikan dengan forum yudisial. Satu hal yang pasti, Indonesia termasuk negara peserta summit yang diprotes dengan tagline "Blah, blah, blah" tadi.
Keadilan iklim hanya dapat dicapai dengan tindakan nyata. Selaras dengan usia muda mereka, yang mereka tuntut adalah perubahan revolusioner, segera, cepat. Apalagi, kita manusia seluruh dunia memang ada di titik urgent untuk segera beraksi nyata.
Bagi generasi orang tua yang saat ini menguasai sumber daya: kebijakan, kekuasaan, dan regulasi, dengarkanlah para pemuda itu. Akselerasilah perubahan untuk a safer future. Ingatlah keadilan iklim saat kita merayakan Universal Declaration of Human Rights tahun ini.
Keadilan iklim merupakan pemenuhan hak asasi manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H