Lihat ke Halaman Asli

R .

Bertemu teman cerita

Modernisasi Bukan Westernisasi

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Modernisasi selalu berkaitan dengan globalisasi. Semakin merasuknya globalisasi dalam setiap sendi kehidupan, maka modernisasi menjadi sebuah keharusan. Dalam perspektif ilmu sosial modernisasi itu adalah perubahan dari ketradisonalan menuju pola hidup yang lebih baik (modern), yang pada akhirnya ditujukan untuk kemakmuran masyarakat. Mengapa demikian? Karena di era dunia yang begini modern banyak tingkah pola tradisional yang tak lagi sesuai zaman, yang jika dipertahankan manusia akan tertinggal jauh dari laju kereta modern-global tadi, akhirnya manusia yang tertinggal itu akan merana karena tak lagi seirama dengan dunia sekitarnya. Begitulah kira-kira mengapa modernisasi itu harus digenapi.

Di sisi cerita yang lain, dunia ini sejak dulu kala dipolakan dalam dua kelompok utama dunia barat dan dunia timur. Segala yang (dianggap) modern pada awalnya memang datang dari barat, dengan pola-pola pikir barat oleh orang-orang barat. Maka disebutlah semua itu dalam satu istilah “western”, yang mempengaruhi dunia timur. Proses pola tingkah western yang mempengaruhi pola tingkah ketimuran itulah yang kemudian disebut westernisasi. Pengaruh itu bisa dilakukan dengan sengaja oleh kaum western atau juga diikuti dengan suka rela oleh kaum timur. Naasnya, kesukarelaan itu bergeser pada pemujaan berlebihan akan hal-hal berbau barat.( Cek definisi westernisasi kamus besar bahasa Indonesia).

Lalu, isasi yang mana yang terjadi di negara ini? Silahkan lihat sendiri dan berpendapatlah, namun izinkan saya punya pendapat. Westernisasilah yang mencengkeram bumi pertiwi. Entah apa awal dan akhirnya, westernisasi justru terjadi dalam upaya menunaikan modernisasi. Lantas sebanarnya berkaitankah modernisasi dan westernisasi ini? Hemat saya, berkaitan. Modernisasi memang sumbangsih besar kaum barat yang mulanya mereka terapkan pada wilayah yang dihuni orang-orang dengan pola pikir dan budaya barat, maka cocoklah ia, itupun mereka melalui sejarah panjang untuk dapat mencapainya. Bagaimana ketika diterapkan di dunia timur? Terapkanlah sesuai dengan pola pikir dan budaya timur, jadi satu hal yang penting dalam modernisasi : meramunya sesusai dengan kita. Mungkin ini pulalah yang sering didengungkan kalimat Think globally, act locally.  Dengan “meramu”, kita terhindar dari “salin-tempel (copy-paste) kebudayaan”, karena sederhana saja alasannya : belum tentu hal-hal yang terjadi di barat cocok dengan dunia timur. Contoh kecil saja, China dulu kala pernah morat-marit negaranya ketika yang kebarat-baratan (bidang ekonomi) mau diterapkan mentah-mentah di negaranya. Rakyat berontak, kekaisaran guncang, revolusi berlangsung. Hebatnya, pendidikan barat pulalah yang digunakah kaum revolusioner, karena ada yang baik dari sistem pikir barat yang cocok diterapkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Sederhananya, modernisasi tak harus melulu westernisasi. Lihat Jepang dan Korea Selatan, semodern-modernya mereka, budaya lokalnya terjaga. Bahkan dengan pendirian seperti itu pulalah dulu Jepang berhasil menjadi salah satu imperialis adi daya, mendobrak dominasi Barat. Mengapa tak tiru Jepang saja? Lihat pulalah Korea Selatan, modernisasi yang mereka laksanakan masih memegang identitas aslinya, bahkan kini menyebarkan budayanya ke seluruh dunia. Mereka berhasil meramu modernisasi dengan nilai lokal masing-masing. Lalu haruskah nilai-nilai lokal melulu dipertahankan dalam kaitannya dengan modernisasi? Tentu tidak, ada nilai-nilai lokal yang tak lagi cocok diaplikasikan di dunia modern ini, yang tidak cocok itu tidak usah dengan keras kepala dipertahankan. Contoh nyata : Soekarno-Hatta, dipengaruhi pendidikan Barat, memimpin perjuangan kemerdekaan, dengan meramunya dengan nilai-nilai lokal yang sesuai, lahirlah Pancasila dan ekonomi kerakyatan.

Menjadi hal yang menggelitik, ketika mengamati gejala westernisasi ini adalah dengan memperhatikan gaya bahasa generasi muda –para pemegang masa depan negara ini, karena itu penting untuk diperhatikan-masa kini. Mungkin merasa modern jika menggunakan bahasa inggris –yang dinyatakan sebagai bahasa internasional- , maka sekarang lebih keren atau modern lah jika berbahasa inggris. Malangnya, bahasa asing itu digado-gado dengan bahasa Indonesia yang tak jarang tak tepat guna, baik dalam struktur bahasa maupun penggunaannya. Salah satu yang tak tepat itu, penggunaan “as friendly” dalam kalimat “Aku ngingetin kamu sebagai teman” digado-gado menjadi “Aku ngingetin kamu as friendly”. Tidak kapasitas saya membedah struktur bahasa disitu, karena saya pun tak pede dengan kemampuan bahasa inggris saya, tapi dalam segala keterbatasan bahasa asing saya itu, saya tau ada yang salah di kalimat tersebut. Cek pula promosi alat-alat kesehatan, selalu mengandalkan “telah divalidasi oleh ahli dari Jerman/Itali/Eropa” atau apapunlah itu yang berbau barat (luar negeri). Cek pulalah motto-motto kampus di Indonesia tercinta, hampir semua berbahasa asing (bahasa inggris). Apakah ini gejala westernisasi yang inggrisisasi? Hmm.. saya pun tak terlalu paham. Malah kata “isasi” itu mengingatkan saya pada istilah-istilah Vicky Prasetyo dan saya pun tertawa.

Salam,

R.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline