Lihat ke Halaman Asli

Di Warung Kopi

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari masih sendu, langit tampak abu-abu tertutup awan kelabu. Sedikit-pun tak terasa kehangatan semangat pagi disebuah warung kopi di pinggiran jalan kota kecilujung timur negeri Nanggroe ini. Beberapa orang sedang duduk malas tatapi koran pagi ditemani secangkir kopi sambil sesekali teralihkan bising motor siswa-siswi yang pergi sekolah, melintas terburu-buru saling pacu bagai serdadu menghentak kabur sunyi.

Jauh diujung kanan meja depan warung kopi, dua bapak berkalung handuk masih terlihat bersih saling hadap berbincang ringan sembari nikmati aroma gorengan,

“Kau tau berapa anggaran dana untuk Pemilu nanti?”

“Gak tau-lah. Ngapain-pun aku pikirin.”

“Harus-lah, uang kita juga itu yang dipake.”

“Uang kita? Kayak kau pernah bayar pajak aja.”

“Tapi, setidaknya-kan…“

“Berapa mang anggaran dana-nya?”

“16 Triliun rupiah. Sedapkan?”

“Duit semua tuh?”

“Mungkin. Mana aku tahu.”

“Tahu darimana kau cerita itu?”

“Baca koran makanya.”

Mereka, dua tukang becak itu, larut dalam omong kosong tentang pemilu sembari sesekali menenggak pahit-manis secangkir kecil kopi hitam pekat mereka. Acuhkan gorengan tergeletak penuh harap agar disentuh. Dana, tiada lain hanya uang mereka perhatikan. Bukan calon presiden juga bukan calon legislatif. Bukan partai apalagi janji para calon wakil rakyat itu. Hidup mereka saja sudah memusingkan kepala, apalah guna penati pikiran dengan segala kepalsuan panggung politik negeri ini. Apapun cerita pesta rakyat kelak, tetap uang melulu konsentrasi mereka. Akan selalu tentang uang.

“Kau tahu caleg bernama Abdul dari partai ‘itu’?”

“Tau, kenapa mang?”

“Aku didatangi tim suksesnya kemarin lusa. Katanya kalau kita pilih pak Abdul di pemilu nanti, kita di kasih 100 ribu.”

“Yang betul? Biasanya-kan cuma dikasih 50 ribu. Kalo betul gitu kita pilih aja nanti pak Abdul. Lumayan-kan dapat 100 ribu.”

“Masa kau pilih caleg cuma karena uang 100 ribu? Yang ada nanti dia korupsi buat ganti semua uang hangus itu.”

“Biar aja. Yang di korupsi juga bukan uang kita, tapi uang pemerintah. Apa peduli kita? Pemerintah saja hampir tak pernah peduli sama kita?”

Seketika itu mereka terjebak dalam bimbang.

“Memang gak ada alasan lain untuk kita memilih selain uang?”

Sejenak bising motor menghentak lalu hening-pun hinggap, kedua orang itu saling tatap dalam keterkejutan begitu terganggu pada ketidaknyamanan di telinga.

“Lagian siapapun nanti yang terpilih tak pernah kita rasakan langsung efek-nya. Semua sama. Begitu terpilih lupa pada semua janji dan tugasnya. Udah gitu dari dulu, gak pernah berubah. Jadi lebih bagus kita pilih yang ngasih kita sesuatu walau cuma uang 100 ribu. Penghasilan narik becak 3 hari itu. Lumayan kan?”

“Iya juga sih. Daripada gak dapat apa-apa.”

Mereka akhirnya setuju, sepakat dan telah sepaham pada pilihan caleg-nya untuk pemilu legislatif nanti. Telah menyerahkan masa depan pemerintahan negeri tempat mereka berpeluh hanya pada uang 100 ribu. Lalu mentari perlahan mulai menanjak, merangkak pelan jejaki langit bertopang pada awan. Begitu hangat mentari rasuki kedua tukang becak itu, cepat mereka tenggak sisa kopi-nya dan berlalu menuju tunggangan pemuas lapar pemenuh segala kebutuhan keluarga kecil mereka. Mengayuh pelan becak mengais rejeki jelajahi kota kecil ini.

Sesaat setelah dua tukang becak tadi beranjak pergi, tiga pemuda berbaju rapi seragam berwarna cokelat jalan beriringan masuki warung kopi. Mereka duduk tepat di belakang meja tukang becak tadi. Entah ada urusan apa mereka? Dikala jam sibuk kerja malah berada disini. Bukankah harusnya sedang laksanakan tugas layani masyarakat? Dasar, tingkah mereka tak pernah berubah. Hampir semuanya sama. Para pegawai yang dibayar pemerintah guna melayani masyarakat namun malah bertrasnformasi jadi profesi dengan kasta jauh lebih tinggi dari rakyat yang harusnya mereka layani.

“Kanapa kita kesini?”

Tanya pemuda yang berkumis.

“Disini jauh lebih murah dan lumayan jauh dari kantor. Aman kita nongkrong disini agak lama. Walau tempat umum biasanya cuma tukang becak minum disini.”

Jawab pemuda berambut klimis.

“Bagus deh.”

Sahut satu lagi yang berbadan atletis.

“Ohya, udah ketemu pak Abdul kalian?”

“Udah. Aman-lah semua.”

“Berapa suara kira-kira bisa kau dapat?”

“Target aku minimal dua ribu suara. Aku lagi butuh uang soalnya.”

“Tapi harus hati-hati, jangan sampe ketahuan. Bisa kacau kita semua nanti.”

Ketiganya saling angguk, paham resiko permainan haram mereka itu cukup tinggi. Bahkan beban moral untuk tetap bertahan acuhkan suara hati yang sadari betapa salah tindakan mereka saat ini, jauh lebih berat. Hingga sang pemilik warung kopi datangi mereka membawa dua piring kecil gorengan dan,

“Mau minum apa dek?”

Ketiganya tersentak kaget. Saling tatap lalu bertindak aneh, canggung.

“Ooh, maaf pak. Kita minta kopi hitam aja, 3 gelas.”

Jawab si pemuda rambut klimis tenang, biaskan kekalutan dua temannya. Setelah pemilik warung kopi beranjak, dia segera lanjut berpetuah seakan tetua disana.

“Berat memang beban kita. Jujur, risiko kerjaan ini memang gak main-main. Tapi, aku udah lakukan ini dari 10 tahun lalu, sejak masih kuliah. Gak ada apa-apa kok.”

“Semua berhasil? Caleg-nya sama terus?”

“Yang pertama memang kurang memuaskan, tapi karena kesalahan itu aku tahu celahnya sekarang. Kalo caleg-nya beda terus. Tergantung bayaran tertinggi.”

“Kau yakin kerjaan kita ini aman?”

“Waah, jadi ngeri juga aku. Bahkan pak Akil Mukhtar aja bisa ketangkap lho?”

“Itu namanya risiko. Jangan pikirin masalah pak Akil ke-tangkapnya, tapi coba pikirin kalo hakim MK sekalipun tetap ada permainan. Sampe saat ini, hampir gak ada yang benar-benar bersih di negara kita. Lagipula kerjaan kita ini-kan cuma kecurangan kecil dan tidak merugikan uang negara. Kita cuma membantu orang. Bisa dibilang, marketing-nya lah. Jadi, jangan pikiran negatif-nya aja.”

Ketiganya kembali diam begitu si pemilik warung kopi kembali hampiri mereka, meletakkan kopi lalu berdiri sebentar di samping meja itu. Berbisik pelan,

“Memang berapa harga satu suara?”

Pancingnya. Ketiga-nya sebentar menatap curiga lalu si rambut klimis menjawab,

“Untuk pemilih dikasih 100 ribu. Untuk penjual-nya, satu suara 10 sampe 15 ribu. Bapak mau dapat yang 100 ribu atau 10-15 ribu persuara?”

“Sedap juga ya? Eh, calegnya siapa? Pak Abdul?”

Kembali mereka terdiam, mulai salah tingkah. Terlihat begitu curiga.

“Darimana bapak tahu?”

“Oooh, tadi pagi ada dua tukang becak cerita kalo pak Abdul ngasih 100 ribu buat orang yang mau milih dia di pemilu legislatif nanti.”

Ketiga pemuda itu saling pandang menganalisa kebenaran ucapan bapak setengah baya di hadapan mereka. Sangat, raut wajah mereka tampak penuh curiga.

“Yah, memang jual suara itu apa?”

Tanya seorang bocah berumur 10 tahun, anak si pemilik warung kopi yang entah sejak kapan telah berdiri disebelah ayahnya.

“Loh? Kamu kok disini? Maaf dek, kita lanjutin nanti aja ya.”

Sela bapak pemilik warung kopi sembari berlalu membawa anaknya menjauhi meja itu. Hanya saja, ketidaknyamanan telah mencekik ketiga pemuda itu. Rasa nyaman yang awalnya cukup yakin rajai hati mereka bila tempat ini aman, seketika berubah khawatir berlebih dan selalu curiga pada semua orang disana. Terutama pada pemilik warung kopi itu. Bila dia pendukung caleg atau partai lain, tentu kejadian barusan akan jadi awal cerita kelam bagi mereka. Apalagi seandainya pembicaraan tadi di laporkan pada Panwaslu atau Bawaslu, hancur lebur-lah mereka bertiga.

Cuaca tidak begitu panas hari itu, awan mendung malah bantu sejukkan bumi dari sengat sinar mentari. Namun ketiga pemuda berseragam cokelat yang awalnya tampak begitu rapi mendadak dipenuhi peluh. Keringat menetes hampir disekujur tubuh, bahkan seorang dari mereka bergetar tangannya, sangat kencang.

“Kita pergi.”

Tegas si pemuda berkumis yang langsung disambut pemuda berambut klimis.

“Pak, berapa semuanya?”

Tanya-nya dengan suara lantang pada pemilik warung yang duduk di meja paling ujung kiri dan sedang bermain dengan putra-nya. Bapak itu segera hampiri pemuda itu setelah pastikan anak-nya tetap duduk di mejanya.

“25 ribu semua.”

Pemuda berambut klimis keluarkan uang 100 ribu dan memberikan pada bapak itu sembari berkata tegas,

“Ambil aja semua pak.”

“Anggap aja sisanya uang tutup mulut.”

“Tutup mulut?”

“Bapak tahu kecurangan kami dan caleg yang kami dukung. Jadi saya harap apa yang bapak dengar tadi hanya berakhir juga disini. Tapi seandainya nanti terjadi sesuatu pada kami, setidaknya kami tahu siapa sumbernya.”

“Waah, adek-adek ini mau nyogok sekalian ngancam saya?”

Ketiganya hanya diam.

“Deek-deek. Orang-orang seperti kalian-lah yang mengotori demokrasi negeri ini. Udah di kalangan atas kacau, harusnya pemuda seperti kalian ini jadi sosok pengubah segala kebobrokan negeri. Bukan malah mewarisi semua keburukan itu.”

Bapak itu diam sebentar, menarik nafas tenangkan nafasnya.

“Tenang aja. Saya netral dan tidak akan bicarakan semua hal tadi. Tapi saya harap kalian mau berhenti dari kecurangan ini dan mulai perbaiki diri demi diri dan negeri. Karena kalian-lah wajah baru negeri untuk puluhan tahun mendatang.”

Ketiganya tertunduk patuh. Secercah sesal tersirat jelas di wajah kedua pemuda itu, kecuali si pemuda berambut klimis yang malah tampak begitu kesal. Terlihat dari tatap matanya meski ekspresi wajah-nya tak sedikitpun memberi reaksi. Seketika itu juga ketiganya segera beranjak pergi tinggalkan bapak pemilik warung kopi itu kembali pada anaknya sambil tersenyum seakan tak pernah terjadi sesuatu.

Mentari kian meninggi lalu kembali turun seakan pelan menggelinding ke ujung barat. Warung kopi juga semakin sepi. Beberapa orang yang sejak pagi silih berganti, satu-persatu beranjak pergi. Hanya tersisa bapak pemilik warung kopi dan anaknya berteman sepi hingga datang dua pemuda dengan tanda pengenal wartawan di saku kanannya duduk berhadapan dengan dua pemuda berbaju rapi lainnya. Mereka duduk di meja tepat disebelah kanan meja tukang becak tadi.

“Gimana bisnis tadi bang?”

Tanya salah satu pemuda berbaju rapi.

“Udah tadi pagi. Pokoknya semua beres.”

“Gimana reaksi bapak itu?”

“Kaget dia. Sempat nyangkal sambil nanya tahu darimana?”

“Tapi gak abang jawabkan?”

“Enggak-lah. Kalo aku kasih tahu, bisa gawat kalian nanti.”

Kedua pemuda berbaju rapi itu mengangguk setuju. Bapak pemilik warung kopi segera menghampiri para pemuda itu membawa dua piring gorengan.

“Pak, kopi susu dua sama teh manis hangat dua.”

Pinta salah satu wartawan.

“Sebentar ya dek.”

Bapak itu segera kembali ke dapur, persiapkan pesanan. Sedang keempat pemuda itu lanjutkan perbincangan mereka.

“Ohya, ngomong-ngomong abang minta berapa tadi?”

“100 juta.”

“Banyak kali bang?“

“Enggak. Uang segitu buat caleg kayak pak Abdul sih sedikit.”

“Iya. Asal kalian tahu, buat jadi caleg mereka harus ada dana ratusan juta lho. Malah ada yang udah habis-habisan sampe satu bahkan dua miliyar tapi gagal juga.”

Dukung wartawan satunya yang berambut panjang.

“Tapi, yakin nih aman?”

“Yakin. Lagian ini juga bukan pertama kami lakukan.”

“Caleg itu butuh pencitraan baik agar elektabilitasnya tinggi. Mereka paling takut dengan pemberitaan buruk. Apalagi kita punya bukti. Kalo kita laporin, bisa hancur karirnya. Jadi mereka pasti takut dan berusaha untuk sanggupin permintaan kita. Asal jangan kebanyakan mintanya.”

“Tadi juga, perjanjiannya kalo pak Abdul bisa penuhi permintaan kita berita-nya kita ubah jadi promosi buat dia. Ingat, jaman sekarang media berperan besar dalam segala bidang lho. Jadi kalian jangan takut.”

“Waah, kayaknya ada harum-harum busuk nih?”

Keempat pemuda itu mendadak tersentak begitu kagetnya. Segera menatap bapak pemilik warung kopi yang menyela perbincangan asik mereka.

“Gak ada apa-apa kok pak.”

“Tapi tadi saya dengar ada hubungannya dengan pak Abdul ya?”

Keempat pemuda itu kembali hanya diam.

“Dari tadi pagi saya dengar banyak orang cerita tentang pak Abdul. Sepertinya dia lagi tenar sekarang?”

“Namanya juga caleg, pak.”

“Caleg baik apa buruk?”

Mereka kembali diam.

“Memang ada caleg yang benar-benar jujur jaman sekarang pak?”

Tanya wartawan satunya.

“Yaah namanya juga politik. Semua penuh ke-munafik-an.”

Tidak ada yang berani membantah.

“Tapi kan gak semua-nya begitu pak.”

“Kalau memang tidak semuanya begitu, kenapa negara kita begini-begini aja?”

“Karena mereka minoritas pak.”

“Iya sih. Tapi kalau terus menyalahkan mereka juga gak adilkan?”

“Maksudnya pak?”

“Barusan tadi ada tiga pemuda bicara tentang jual-beli suara buat pemilu legislatif nanti. Sekarang kalian malah bicara tentang jual-beli berita caleg. Gak di kalangan atas, gak rakyat di bawah bahkan generasi muda penerus bangsa seperti kalian tingkahnya sama aja. Melulu hanya uang fokusnya. Apapun cara semua dilakukan, halal atau haram gak jadi pikiran. Gimana negara kita mau maju dek?”

“Waah jangan maen tuduh gitu dong pak.”

“Enggak kok.”

Bapak itu beranjak pergi tinggalkan meja keempat pemuda itu menuju tempat anaknya bermain tanpa henti terus gelengkan kepala. Tanpa sadar sedang diperhatikan orang-orang di dalam mobil yang terparkir jauh di seberang jalan depan warung kopi.

Mentari cerah siang mulai menunduk senja. Langit biru terang dengan awan-awan putih berganti jingga dihiasi kumpulan abu-abu gumpalan air diatas sana. Bapak pemilik warung kopi sedang bebenah menutup warung kopi-nya sementara sang putra sedang bermain di mejanya. Begitu selesai menutup warung kecilnya dan menyisakan sepasang pintu kecil terbuka, bapak itu kembali ke putra satu-satunya itu.

“Yah, jual suara itu apa?”

Bapak itu begitu terkejut mendengarnya.

“Kenapa kamu tanya itu?”

“Tadi ayah nanya itu sama abang-abang tadi?”

“Ooh, gak apa-apa nak. Jual suara itu hal buruk. Tindakan salah. Ingat! ”

“Ooh, gitu. Trus kalo jual berita apa?”

“Jual berita juga sesuatu yang buruk. Yaa?”

Sang anak hanya mengangguk.

“Berarti abang-abang tadi orang jahat ya yah?”

Bapak itu terdiam sebentar, memikirkan cara bagaimana jelaskan semua itu pada anak-nya yang masih kecil itu. Hingga terpikirkan sesuatu dan siap untuk berpetuah.

“Nak. Semua yang kamu dengar dari abang-abang tadi adalah sesuatu yang buruk. Jadi lebih baik kamu ingat kalo semua yang kamu dengar dari abang-abang tadi itu tidak boleh kamu lakukan saat kamu besar nanti. Yaa?”

Bapak itu diam sebentar perhatikan anaknya dengan tatapan teduh penuh kasih. Perhatikan anaknya yang masih mencoba mengerti ucapan sang ayah. Begitu si anak tadi tampak mulai tenang dan siap menerima petuah lain, bapak itu melanjutkan-nya.

“Kamu ini adalah wajah negeri ini nanti. Kamu adalah penerus negara kita. Kamu adalah pembawa perubahan untuk bangsa. Kamulah wajah baru untuk Indonesia. Jadi, ayah harap kamu mau jadi anak terbaik dengan tindakan yang benar dan ucapan yang jujur. Belajar yang baik dan pahami dengan benar ilmu agama. Perbanyak pengetahuan dan perkuat keimanan. Ayah mau kamu jadi pemuda pintar dan berakhlak baik saat besar nanti yang bisa merubah negeri ini. Karena ayah yakin, negara kita tidak butuh berjuta politisi. Negara kita hanya butuh seorang negarawan yang mampu memimpin negeri dengan benar, jujur dan adil untuk berubah jadi lebih baik. Ingat petuah ayah ya. Karena siapa tahu ini adalah putuah terakhir ayah untuk kamu.”

Anak itu hanya mengangguk, masih belum mengerti ucapan ayahnya. Sedangkan bapak itu juga hanya tersenyum lucu menatap anaknya begitu polos penuh kebingungan menangkap petuah membosankan darinya.

Tak lama istri si bapak datang menjemput putranya, sedang bapak itu masih beresi sisa gelas kotor dari pelanggan dan menyapu warung-nya agar besok bisa langsung di buka sejak pagi sekali. Begitu selesai benahi warung kopi sumber penghasilan keluarga sederhananya dan mengunci pintu warung kecil kesayangannya, bapak itu berjalan tenang menuju motor miliknya tepat di depan warung kopi. Ketika sedang duduk dan hendak nyalakan motornya, tanpa disangka-sangka sebuah mobil kapsul berwarna perak berhenti mendadak menghadang tepat di depan motornya. Bapak itu tersentak kaget lalu berdiri. Sesaat itu juga beberapa orang turun, menariknya ke dalam mobil dan beranjak pergi tinggalkan warung kopi itu sendiri sepi terkurung sunyi dalam balut lantang kumandang adzan. Hingga lenyap pergi sandingi gelap malam, menghilang.

Sejak itu, warung kopi itu tak pernah lagi berpenghuni dan berubah sedih.

~~o0 SELESAI 0o~~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline