Lihat ke Halaman Asli

Qynara Amaris Adikusuma

Murid SMAN 28 Jakarta XI MIPA 2 (26)

Gama Sang Pencari Jati Diri

Diperbarui: 24 November 2020   19:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nama saya Gama. Saya adalah seorang mahasiswa hukum. Seumur hidup saya, saya tidak memiliki minat atau hobi yang jelas. Saya selalu menganggap hidup saya datar dan membosankan. Cita-cita saya secara tidak langsung sudah  ditentukan oleh orang tua saya. Walau mereka bukan tipe orang tua yang benar-benar memaksa, namun mereka sudah memberi petunjuk-petunjuk jelas bahwa mereka menginginkan anak satu-satunya untuk menjadi seorang pengacara. Sejak saya kecil, mereka selalu membimbing saya untuk tertarik ke bidang hukum. 

Ya, saya tidak menolaknya. Lagipula, saya merupakan pribadi yang dapat melakukan semua hal dengan baik. Saya dapat menggambar, bermain basket, mengerjakan matematika, menghafal undang-undang walaupun saya bukan yang terbaik dalam hal-hal tersebut. Namun seperti yang saya sudah katakan, saya tidak memiliki satu kegiatan tertentu yang saya cintai. 

Tahun itu saya memasuki semester kelima saya. Apa yang saya rasakan? Tidak ada. Hanya hampa seperti biasanya. Seperti tidak memiliki alasan saya senang menjalani hidup atau hal yang membuat saya senyum, tetapi saya tidak apa-apa akan hal itu. Saya merasa baik-baik saja. Paling tidak, itu yang saya rasakan sebelum saya bertemu sahabat perempuan saya, Kiki. 

Saya bertemu Kiki di gang dekat restoran tempat saya bekerja. Tidak terasa sudah 2 tahun lamanya sejak hari tersebut. Pada hari itu, saya berjalan ke arah restoran tempat saya bekerja ketika saya menoleh ke arah kanan saya dan melihat seorang perempuan berambut merah muda dan hijau sedang membuat grafiti pada dinding gang. Ia memakai pakaian yang penuh dengan warna berani dan mencolok serta motif yang eksentrik. 

"Hei, hei! Berhenti merusak fasilitas umum! Apa yang kau kira kamu lakukan!" saya menegurnya. Perempuan itu tertawa dengan senyuman bebasnya dan berkata, "wahai anak kaku, ini adalah hal yang kulakukan untuk hidup." "Hah, apa maksudmu?" saya menjawab. " Ini pekerjaanku. Inilah wadah aku mengekspresikan perasaanku. 

Inilah kegiatan yang aku paling cintai." kata perempuan itu. "Pekerjaan? Adakah pekerjaan seperti ini? Apakah pekerjaanmu ini pekerjaan yang pasti dan stabil? Apa kau tidak ragu dengan penghasilan dari pekerjaan seperti ini? Kalau boleh tahu, kuliah apa yang kamu ambil untuk memperoleh pekerjaan ini?"

Ia tertawa dan berkata, "Saya belum kuliah. Hei, tidak semua hal di dunia ini mengenai kepastian dan penghasilan bukan? Saya tidak melakukan ini untuk uangnya. Saya melakukan ini karena saya mencintainya. Inilah yang membuatku merasa hidup. Kau mengerti perasaan luar biasa ini bukan? Kalau kamu, apa yang membuatmu merasakan perasaan ini?" Sayapun heran kalau ada orang seperti Kiki di dunia ini. 

Inilah pertama kalinya saya bertemu orang yang sangat berlawanan dengan kepribadian saya. Kamipun berbincang sebentar dan saya merasa mata saya telah terbuka olehnya. Akhirnya saya mengajaknya untuk makan bersama. Pada perjalanan pertama bersama Kiki  itu, saya melihat betapa bebas, lepas, santai, apa adanya, menyenangkan Kiki itu.

Di perjalanan itu, saya juga bercerita kepada Kiki bagaimana membosankannya hidupku yang tidak memiliki sesuatu yang saya senangi. Kiki sangat kaget dan tidak percaya akan hal itu. Iapun membuat janji kepada saya bahwa ia akan membantu saya menemukan jati diri saya. Pada hari itu, kami menjadi sahabat.

Sejak hari itu, Kiki membawa saya pergi untuk mencari jati diri saya setiap harinya. Ia membawaku terjun payung, membuat tanah liat,  bermain skateboard, bermain catur, mencoba karate, bermain gamelan, dan masih banyak lagi. Saya dapat melakukan semua hal yang Kiki berikan dan saya menikmati semuanya. Namun, tidak ada satupun yang saya benar-benar sukai. Kiki tidak menyerah. Kiki tetap yakin bahwa setiap orang pasti memiliki suatu hal yang membuat matanya berkilau ketika melakukannya, hanya saya belum menemukannya saja. 

Setahun setelah saya dan Kiki bertemu, kami merayakannya dengan mengelilingi kota pada malam hari. Kiki membawaku berkeliling melihat seni-seni luar biasa yang ada di kota kami. Kami tiba di satu jalan dimana Kiki menemukan sebuah museum dan meninggalkan saya untuk masuk ke museum tersebut sebentar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline