Seorang wanita muslimah akan selalu bangga dengan statusnya sebagai kaum hawa. Wanita menganggap bahwa dirinya mempunyai keistimewaan tersendiri yang tidak ada pada diri laki-laki. Para pria tidak mungkin bisa mengalami hal yang dialami oleh wanita pada umumnya seperti mengandung dan melahirkan, juga tidak bisa memberi penghidupan terhadap bayi melalui dadanya seperti yang dilakukan para ibu, dan ini semua adalah keistimewaan yang mengagumkan, bersamaan dengan itu Allah menjadikan sorga di bawah telapak kaki para ibu, adakah yang lebih mulia dan lebih agung dari keistimewaan ini? Semua orang pasti tahu bahwa yang dimaksud sorga di sini bukan berarti sorga berada dibawah kaki seorang ibu, tapi yang dimaksud adalah, bahwa tetap taat dan berbakti kepada mereka adalah sebab yang paling dekat untuk masuk ke dalam sorga, begitupun sebaliknya.
Para ibu muslimah akan merasa bangga dan merasakan kepuasan tersendiri saat bisa berperan untuk mengasuh atau merawat buah hatinya yang masih merah(baru lahir), di mana saat itu sibayi tidak mungkin bisa berbuat apa-apa, bisanya hanya menjerit, menangis terisak-isak sesekali tersenyum manja, tapi siapakah yang tahu maksud dari semua itu? Apakah semua tangisan sibayi dianggap tangisan karna lapar, tdak! Sekali lagi tidak! Saya yakin hanya seorang ibu lah yang paling paham tentang gerak-gerik sibayi, meski dia tidak tahu bahasa tangisan atau senyuman tapi setidaknya bisa merasakan apa keinginan dan kemauan dari bayi itu sendiri.
Meski mereka(para ibu) tahu bahwa tugas menjadi ibu adalah tugas yang paling berat bagi mereka, tapi mereka yakin bahwa hal itu adalah merupakan puncak kehormatan bagi seorang wanita. Karena itu, para perempuan muslimah menganggap bahwa tugas sebagai ibu sangat mulia dan tidak ada duanya, juga mereka beranggapan bahwa merawat darah daging sendiri mulai keluar dari rahim hingga umur dua sampai tiga tahun sangat penting untuk membangun pertumbuhan anak, di mana saat itu perkembangan fisik, mental maupun spiritual anak mulai terbentuk, karena itu banyak yang menyebut masa tersebut sebagai masa keemasan anak.
Pembantu atau khodim tidak bisa menggantikan posisi ibu secara keseluruhan apa lagi mengurus anak yang notabene bukan darah daging sendiri, bahkan terkadang berulah kasar kepada si anak di saat ibunya tidak ada, apakah ini tidak dikatakan pembusukan krakter atau mental? Saya pribadi merasa prihatin terhadap seorang anak yang lahir di tengah keluarga yang bergelimang harta tapi miskin kasih sayang dan sentuhan orang tua.
Berbahagialah seorang ibu yang bisa mengasuh dan membesarkan anak dengan baik, karena besar kemungkinan dia(anak) akan berbakti kepada anda sekaligus bisa berguna bagi nusa dan bangsa lebih-lebih bagi agamanya, itulah amal yang tidak akan pernah putu sekalipun nyawa sudah tidak lagi dikandung badan. Sekarang saya yang masih bingung dengan keadaan sendiri, apakah saya termasuk orang yang berbakti atau masih dalam keadaan mencari? Binguuuuuuuuuuuuuuung!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H