Lihat ke Halaman Asli

Bukan cicak vs buaya : Prahara Pinggir Sungai(2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

”Satu...dua....tiga.........tiga ratus......lima ratus....seribu.......loh koq hanya seribu ekor..!!, kemana yang enam puluh tujuh ekor” pekik peternak.

”mana mungkin dalam semalam bisa enam puluh tujuh ekor yang hilang, kalau yang mencuri adalah Bi Awak paling banyak yang hilang adalah lima ekor,.....ini pasti pekerjaan Bu Aya sekeluarga ,....akan ku bantai Bu Aya sekeluarga dan kujadikan kulitnya tas, atau sepatu sebagai ganti kerugian ayam-ayamku”.

Kemudian peternak itu pergi ke gudang untuk mengambil semua perlengkapan berburunya, ”brakk” pintu gudang itu ditendang kuat-kuat oleh peternak, ia mengambil semua senjata yang ada didalam gudang itu. Anak panah beserta busurnya ia letakkan di punggungnya, pisau komando ia selipkan di pinggangnya, ia raih senjata genggam kesayangannya sewaktu ia masih dimiliter pistol FN kaliber 45, tak lupa ia pun meraih senjata laras panjang HECATE II 12,7.

”Bu Aya-Bu Aya tidak ingat kau dengan perjanjian kita, jangan kau usik ternak-ternakku maka akupun tak akan mengusik daerah kekuasaanmu, kau boleh memakan ternakku apabila ada ternakku yang lari masuk ke daerah kekuasaanmu, tapi sekarang kau telah melanggar janjimu maka akan kualiri sungai itu dengan darahmu dan darah anak-anakmu”.

Peternak itu telah berubah menjadi Rambo yang siap menghancurkan lawan-lawannya. Di atas bukit di tepi sungai dengan berteriak lantang sang peternak memanggil Bu Aya, ”wahai Bu Aya keluarlah dari liang-liang persembunyianmu kau telah melanggar semua perjanjian kita !”.

”Apa yang telah aku langgar wahai peternak, aku hanya memakan ternak-ternakmu yang masuk ke daerah kekuasaanku”, Bu Aya pun menjawabnya.

Dengan suara yang menggelegar peternak itu pun berteriak ”Dasar buaya!, Bu Aya jangan kau coba menipuku, tak mungkin enam puluh tujuh  ekor ternakku masuk dengan sengaja kedaerah kekuasaanmu pada malam hari”.

Bu Aya dan anggota keluarganya pun terdiam mendengar perkataan sang peternak, bukan karena takut mereka terdiam atau bukan juga karena memang perasaan bersalah.
”mmmh pasti ada salah satu anggota keluargaku yang kongkalikong dengan para Bi Awak yang licik, bedebah” pikir Bu Aya.

Riuh rendah suasana di bantaran sungai pagi itu, para Bu Aya telah memasang kuda-kuda untuk melakukan serangan apabila keadaan bertambah buruk. Sang peternak pun melakukan hal yang sama ”ceklik” FN kaliber 45 telah ia kokang.

Sementara itu dari kejauhan dibalik semak para Bi Awak tersenyum puas.
”Angkat gelas mu rekan-rekan pagi ini, adalah hari terakhir bagi Bu Aya menjadi penguasa di sungai ini dan hari yang bersejarah bagi keluarga Bi Awak, karena sebentar lagi kita akan menjadi penguasa di bantaran sungai ini, mampus kau Bu Aya, ha....ha....ha”.

Sementara itu di peternakan ,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline