Epistemologi UU Desa
Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat hukum dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara kesatuan yang berbentuk republik ini terbentuk. Sedangkan, secara etimologis, desa berasal dari bahasa Sangsekerta, Deca yang berarti tanah air, tanah asal kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau Village diartikan sebagai "a group of houses and shops in a country area, smaller than a town".
Konsepsi pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya termuat dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,yang diatur dalam undang-undang".
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi era SBY-Budiono pernah mengatakan seperti tertuang dalam Keterangan Pemerintah tertanggal 2 April 2012 sebagai berikut:
"Undang-Undang tentang desa bertujuan hendak mengangkat desa pada posisi subjek yang terhormat dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal lain adalah bahwa pengaturan desa akan menentukan format yang tepat sesuai dengan konteks keragaman lokal. Penguatan kemandirian desa melalui Undang-Undang tentang Desa sebenarnya juga menempatkan desa sebagai subjek pemerintahan dan pembangunan yang betul-betul berangkat dari bawah (bottom up).
Ketentuan dalam Pasal 18 B ayat (2)UUD NRI tahun 1945 tersebut kemudian direalisasikan dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Konsepsi pokok yang termuat dalam UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dapat dilihat dalam konsiderannya bahwa desa memiliki hak yang bersifat tradisional serta siap dalam hal persaingan karena didorong dengan pengelolaan yang bersifat pemberdayaan terhadap masing-masing desa.
Gairah Demokrasi Desa
Perlu kita ketahui bahwa diputuskannya UU No 6 tahun 2014 tentang Desa merupakan angin segar bagi para aparatur desa sekaligus penguatan secara yuridis dan formal, sebagai kekuatan hukum mengikat bagi pengelolaan desa sekaligus sebagai jembatan untuk penganggaran alokasi dana desa.
Masih segar dalam ingatan bahwa diberbagai tempat sepanjang rentang tahun sebelum di undangkannya peraturan desa ini, masyarakat hampir acuh terhadap kepemimpinan desa maka tidak jarang kita dengar bahwa kepala desa sudah belasan bahkan ada yang puluhan tahun menjabat sebagai seorang kepala desa.
Hal demikian seolah tidak menjadi problem bagi masyarakat bahkan sebahagian besar mungkin berpikir bahwa jabatan sebagai seorang kepala desa hanya menambah beban pikiran, waktu dan tenaga, karena itu posisi pemimpin desa lebih dipandang sebagai amal jariyah yang bersifat sosial terhadap masyarakat.