Lihat ke Halaman Asli

QurratuAini S

Universitas Andalas

Play Therapy Untuk Anak Korban Bencana Alam yang Mengalami PTSD

Diperbarui: 27 Desember 2024   22:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bencana alam seringkali meninggalkan jejak trauma yang mendalam pada anak-anak, dengan manifestasi yang dapat berkembang menjadi Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Berbeda dengan orang dewasa yang dapat mengekspresikan trauma mereka melalui kata-kata, anak-anak membutuhkan pendekatan yang sesuai dengan tahap perkembangan mereka. Play therapy hadir sebagai modalitas intervensi yang efektif dalam membantu anak-anak mengekspresikan dan memproses pengalaman traumatis mereka melalui media yang paling natural bagi dunia anak: bermain. Menurut Landreth (2012), permainan merupakan bahasa alami anak-anak dan media ekspresi diri yang paling efektif bagi mereka dalam mengkomunikasikan pengalaman traumatis.

Dalam konteks penanganan trauma pasca bencana, play therapy menawarkan pendekatan yang komprehensif dan adaptif. Bratton et al. (2013) mengidentifikasi beberapa pendekatan utama dalam play therapy untuk trauma, termasuk directive play therapy yang menggunakan permainan terstruktur dengan tujuan terapeutik spesifik, non-directive play therapy yang memberikan kebebasan pada anak untuk memimpin sesi permainan, dan cognitive-behavioral play therapy yang mengintegrasikan teknik CBT dalam konteks bermain. Masing-masing pendekatan ini memiliki keunikan dan manfaat tersendiri dalam membantu anak-anak memproses trauma mereka.

Efektivitas play therapy dalam menangani PTSD pada anak korban bencana telah didukung oleh berbagai penelitian ilmiah. Sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh Lin dan Bratton (2015) menunjukkan effect size yang signifikan dalam pengurangan gejala PTSD pada anak-anak yang menerima play therapy. Lebih spesifik lagi, Shen (2017) melaporkan bahwa anak-anak korban gempa bumi yang menerima play therapy menunjukkan penurunan signifikan dalam gejala PTSD, peningkatan kemampuan regulasi emosi, perbaikan dalam fungsi sosial, dan pengurangan masalah perilaku.

Implementasi play therapy pasca bencana memerlukan pendekatan bertahap dan terstruktur. Baggerly dan Jenkins (2009) menguraikan bahwa pada fase awal (0-3 bulan pasca bencana), fokus diberikan pada stabilisasi dan membangun rasa aman melalui permainan yang menenangkan dan aktivitas terstruktur. Pada fase menengah (3-6 bulan), terapi lebih berfokus pada pemrosesan trauma melalui permainan simbolik dan eksplorasi emosi yang lebih dalam. Fase lanjut (6+ bulan) kemudian diarahkan pada integrasi pengalaman traumatis dan penguatan resiliensi.

Dalam konteks Indonesia, penerapan play therapy memerlukan adaptasi kultural yang cermat. Gil (2016) menekankan pentingnya mengintegrasikan permainan tradisional, material yang familiar bagi anak Indonesia, dan bentuk seni lokal dalam proses terapi. Sensitivitas terhadap nilai-nilai keluarga, praktik pengasuhan lokal, dan kepercayaan spiritual juga menjadi pertimbangan penting dalam mengembangkan intervensi yang efektif dan kulturally appropriate.

Keterlibatan keluarga dan komunitas memegang peran krusial dalam keberhasilan play therapy. Green et al. (2018) menggarisbawahi pentingnya melibatkan orangtua melalui psikoedukasi tentang trauma, keterlibatan dalam sesi bermain, dan dukungan untuk implementasi di rumah. Selain itu, pelatihan untuk guru dan pengasuh, serta pengembangan program berbasis sekolah juga menjadi komponen penting dalam menciptakan sistem dukungan yang komprehensif bagi anak-anak korban bencana.

Meskipun play therapy menunjukkan efektivitas yang menjanjikan, beberapa tantangan perlu diatasi dalam implementasinya di Indonesia. Keterbatasan sumber daya, termasuk kurangnya terapis terlatih dan akses terbatas ke layanan, menjadi kendala utama. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan strategi seperti pelatihan terapis lokal, pengembangan material yang cost-effective, dan adaptasi untuk setting kelompok. Dengan pendekatan yang terstruktur dan adaptif, play therapy dapat menjadi modalitas intervensi yang efektif dalam membantu pemulihan anak-anak korban bencana yang mengalami PTSD.

Referensi

1. Landreth, G. L. (2012). Play therapy: The art of the relationship (3rd ed.). Routledge.

2. Bratton, S. C., Ceballos, P. L., & Ferebee, K. W. (2013). The impact of a structured play therapy program on children's physical and emotional well-being. International Journal of Play Therapy, 22(1), 51-63.

3. Lin, Y. W., & Bratton, S. C. (2015). A meta-analytic review of child-centered play therapy approaches. Journal of Counseling & Development, 93(1), 45-58.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline