Lihat ke Halaman Asli

Quo Vadis Golput di Era Milenial

Diperbarui: 30 Januari 2019   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Golput menjadi salah satu pilihan gerakan di era otoriter Orde Baru, di mana demokrasi hanya sebagai simbol dan Pemilu sebagai alat melegitimasi kekuasaan. Kampanye golput bukan "gerakan aktivisme semu" yang menjadi ruang pembeda.

Beberapa hari terakhir menjelang pesta demokrasi pemilihan presiden, pemilihan legislatif 2019 gerakan Golput menjadi perhatian tersendiri. Dengan berbagai metode gerakan, baik melalui kampanye calon presiden dan wakil presiden "guyonan" maupun secara terbuka melalui sarasehan yang dilanjutkan dengan konferensi pers. Yang menjadi pertanyaan, apa target dari kampanye golput di era milenial?

Gerakan pro-demokrasi melalui Kampanye Golput menjadi gerakan masif si era tahun 90-an, antara lain dilakukan aktivis anti Orba (Soeharto) seperti Arif Budiman dan kawan-kawan di kampus UKSW Salatiga. Gerakan golput ini menjadi antitesis dari pemilu yang tidak demokratis di negara yang menganut sistem demokrasi.

Di sistem demokrasi, partai politik merupakan alat/kendaraan untuk mencapai "kekuasaan".  Alat untuk terlibat secara aktif menentukan nasib bangsa dan negara sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD'45. Melalui pemilu kita memilih anggota lesgislatif dan eksekutif untuk menjadi wakil rakyat membangun masa depan bangsa dan negara.

Ketika sistem demokrasi telah menutup kran-kran komunikasi dan informasi untuk menyuarakan hak politik.  Peserta pemilihan umum hanya dibatasi 2 (dua) partai yakni PDI dan PPP dan 1 (satu) Golongan Karya. Sebelum pemilu sudah dapat dipastikan pemenangnya serta siapa yang kembali menjadi Presiden. 

Kondisi demikian golput menjadi salah satu pilihan gerakan anti pemilu melawan pemberangusan demokrasi oleh pemerintah. Mereka yang tidak sependapat dengan penguasa -- Orde Baru dianggap sebagai ancaman, ditangkap dan dibui.

Setelah Soeharto tumbang banyak aktivis gerakan golput yang kemudian bergabung maupun mendirikan partai politik. Pintu demokrasi telah dibuka, setiap orang dapat menyuarakan aspirasinya tanpa takut untuk ditangkap, diculik, dibui maupun dibunuh. 

Setiap orang mendapat kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya ke partai-partai politik yang ada. Masyarakat juga bisa melakukan demontrasi untuk kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan "rakyat kecil".

Di era milenial, demokrasi semakin terbuka lebar. Lalu lintas informasi tidak terbendung, Media Sosial berbasis internet mudah diakses. Setiap orang bisa menyuarakan pendapatnya, bahkan sampai pada titik untuk kepentingan-kepentingan yang melampaui budaya, aturan, tatakrama yang selama ini menjadi adat-istiadat Bangsa Indonesia. Bahkan atas nama demokrasi, melalui media sosial, demokrasi yang kita raih untuk mewujudkan cita-cita proklamasi digunakan untuk merongrong NKRI.

Saat ini pemerintah dengan mudah dapat diajak untuk berkomunikasi, berembug menyampaikan aspirasi. Ruang menggunakan hak pilih terbuka tanpa ada tekanan. Di pesta demokrasi, dalam ruang pemilihan umum muncul kembali kampanye golput.

Yang menjadi pertanyaan adalah mau dibawa kemana kampanye golput ini? Tentu kita tidak berharap bahwa kampanye golput ini hanya menjadi "gerakan aktivisme semu" yang menjadi ruang pembeda. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline