Tanpa disadari ungkapan isi hati, luapan emosi tercurah dalam tawa, marah, hasut, cibir, maki tersebar hanya dari sudut ruang. Tak nampak seseorang bersama, pun suara yang timbul dari percakapan namun siapapun tanpa batas waktu dan wilayah menerima ini. Teknologi informasi, sebuah penemuan yang akan memerdekakan dan menjajah manusia.
Sejarah bangsa mengajarkan bagaimana memanfaatkan teknologi untuk memerdekakan, penggunaan bambu runcing, suatu teknologi sederhana yang membuat penjajah "takut" hingga teknologi modern seperti radio yang digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan saat agresi Belanda di Surabaya. "Dengan kata lain pemuda yang bertempur di Surabaya adalah pemuda-pemuda yang berada di luar organisasi politik waktu itu. Dalam hal ini adalah penemuan Bung Tomo yang luar biasa karena memikirkan kemungkinan pemakaian radio".[1]
Dari Survey CSIS bertajuk "Ada Apa dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi dan Politik Generasi Milenial (17 -- 29 tahun) lebih melek teknologi dan mengakses ke media sosial ketimbang surat kabar, sebagaiamana dilakoni oleh generasi non milenial (di atas 30 tahun). Era cyber war, memberikan kemudahan untuk mengakses semua informasi yang dibutuhkan. Lompatan teknologi ini belum seiring dengan pergerakan keinginan untuk memperoleh informasi yang sesuai fakta. Tidak mengherankan bila kemudian begitu mudahnya generasi milenial memasuki masa kebimbangan.
Kondisi demikian memberikan kesempatan bagi siapapun untuk mewujudkan kepentingannya dengan memanfaatkan teknologi informasi. Pertemuan borjuasi yang didukung kapitalis berkerjasama dengan kelompok Intoleran dan kelompok radikal mulai menebarkan jala. Rantai-rantai kekuasaan menjadi sasaran agar memudahkan mencapai tujuan ini. Dalil, dogma dan kemanusian menjadi bungkus indah yang mengecoh siapapun agar meyakini dan terjerat dalam jaring pasukan semu.
Berita hoax, ujaran kebencian, ungkapan caci maki mengalir setiap hari, bertengger di ruang-ruang informasi melalui media sosial mengisi kebimbangan. Tanpa di sadari generasi milenial menerima produk ini sebagai "kebenaran" untuk mengisi kebimbangan sehingga menghegemoni perilaku dan pikiran. Perlahan namun pasti menjadi bibit yang merusak tatanan Kebhinekaan bangsa yang terangkai dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.
[1] Ben Anderson, "Revolusi Pemuda" dalam Membangun Republik (2017) hlm. 53
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H