"Pie tresno negarane dewe?" ungkapan ringan keluar dari mulut Pak Dirman saat berbincang dengan Pak Maun, mereka tukang becak yang mangkal di Pasar Johar Semarang, pengalaman hidup telah memberikan ilmu Nasionalisme berbahasa.
"Urip iku kudu kerjo" omonge Pak Dirman, "Kerjo iku ora mung kanggo awake dewe, nanging yo kanggo wong liyo, yen mung nggo awake dewe ngko marai congkrah, yo to Un? Tutur Pak Dirman. "Bener Kang, ben urip karo tonggo teparo ki tentrem ora mung padu wae" timpal Pak Maun. "Siji maneh kang yen unen-unen 'nang ndi lemah dipidak nang kono langit dijunjung' ditrapke, mestine yo ayem tentrem, ora ono sing sok keminter, sok paling bener, isine mung ngelek-elek liyane." Ujar Pak Maun.
Tidak semua orang mengerti percakapan diatas, mereka yang bukan orang Jawa (Suku Jawa) akan sulit memahami percakapan dengan Bahasa Jawa khas Semarangan. Perbedaan bahasa ini akan menyulitkan apa yang disampaikan dapat dipahami dan dimengerti oleh orang lain dari suku lain yang juga memiliki bahasa sendiri, dengan demikian dibutuhkan "satu bahasa".
Kebutuhan pentingnya satu bahasa sejak lama digagas. Di era pergerakan, pemuda Indonesia modern mengadakan kongres yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Di antara suku bangsa yang hadir dalam kongres telah menyepakati dan saling berendah hati untuk tidak memaksakan bahasa ibu sebagai satu bahasa yang menyatukan pulau-pulau di Nusantara.[1]
"Generasi pertama Indonesia modern berupaya dengan gigih agar mereka tidak mengalami "devide et impera" lagi, karenanya mereka memerlukan suatu bahasa persatuan yang bukan bahasa penjajah". (Kuasa Kata, Benedict Anderson, hlm. 419).
Kesepakan bersama ini masih menyisakan masalah, transformasi kebahasaan untuk mewujudkan satu bahasa antar pulau di Nusantara memerlukan proses yang panjang, meski demikian setia orang di tahun 1928 siap untuk mengucapkan sang Sumpah dengan sembah dan khidmat.[2]
Kekosongan satu bahasa yang dapat dimengerti oleh setiap suku bangsa ini dimanfaatkan oleh kolonial Belanda. Si Imperium memotori penggunaan satu bahasa agar memudahkan kepentingan kekuasaan ekonomi yang telah melewati batas etnis dan suku, beragam bahasa. Bahasa Indonesia yang berkembang merupakan bahasa melayu yang terlalu tinggi[3], sehingga sukar dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.
"Rezim kolonial belanda justru adalah promotor yang paling awal sekaligus paling gigih bagi bagi bahasa yang kelak dinamakan bahasa indonesia, satu hal karena sama sekali tak ada maksud untuk menjadikan bahasa belanda sebagai bahasa kolonial antar suku, hal lain karena belanda memerlukan bahasa tunggal untuk kawasan heterogen itu." (John Hoffman, A'Colonial Invesment,'Indonesia hlm. 65-92).
Di era orde baru lahir Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, peristilahan Indonesia (asing-Indonesia, baku-tidak baku) oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang notabene organ pemerintahan merupakan contoh pembentukan politik bahasa Indonesia.[4]
"Bahasa Indonesia pada hakikatnya merupakan komoditas industrial. bahasa tidak lahir dan tumbuh dari dinamika komunal masyarakat, tetapi merupakan produk rekayasa para professional yang dirancang untuk dipasarkan secara massal. bahasa bukan lagi menjadi bahasa ibu maupun lingua fanca melainkan menjadi komoditas yang bersumber pada keputusan para pejabat pembinaan dan pengembangan bahasa." (Bahasa dan Kuasa : Tatapan Postmodernisme dalam Bahasa dan Kekuasan)
Di era Reformasi, transformasi bahasa pergaulan yang berkembang melalui media sosial untuk kepentingan politik dan ekonomi membawa konsekwensi tersendiri bagi masa depan Indonesia.