Lihat ke Halaman Asli

Memaknai Sepi dalam Sebuah Buku Lama

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

lembar demi lembar telah habis sulit tercerna

helai demi helai membuka menutup diam tak bersuara

memaknai deretan kata dan kalimat yang terhampar

menusuk, membelai, meradang, merekah

kiasan yang terasa hambar tak bersisa

titik dan koma menari-nari tumpahkan segala masalah

tinta memerah darah, hangat mengalir membasahi

tergenang dalam air mata pedih, menetes, menguapkan sang arti

sampul keras membatu tertiup angin hantam kepala

gambar-gambar bergerak dalam diam

huruf-huruf liar kait mengait membelit erat tak terkendali

wajah menyeringai sang penulis terjerembab latar belakang

tak mengerti, gelisah, bingung, resah,

bau usang kertas lama menusuk indera penciuman

berputar-putar tak terarah, tanpa tujuan, tanpa pemberhentian

deretan huruf suram tak terlihat mata

berlompatan susul menyusul menikam otak kecil tepat di kepala

mulut terkatup tak bersuara, terinjak kaki raksasa rangkaian cerita

sunyi, sendiri, berkawankan sepi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline