Lihat ke Halaman Asli

Saat Rasa Masakan dan Design Bersatu Dalam Perut di Inggil Resto.

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat mendapat project untuk me-redesign interior sebuah hotel berbintang yang lumayan jadoel di kota Malang, Jawa Timur,  kami berkesempatan mendatangi sebuah rumah makan yang relatif baru di kota itu tetapi interiornya sangat old fashioned dan di tata secara mantap. Unik, kreatif, inspirasional dan sangat historical. Sebetulnya ada kekhawatiran dalam diri kami saat rekan kami memberitahu nama tempat itu, INGGIL RESTO. Sepertinya dari segi nama kurang meyakinkan kami.Karena sesuai dengan bidang pekerjaan yang kami pilih, maka salah satu syarat kami berkuliner (apalagi di daerah lain) adalah masakannya harus sip ... ini pasti ... dan syarat kedua yang harus ada juga yaitu tempat itu HARUS memiliki interior dan penataan ruang yang asyik menurut kami. Jadi seperti judul di atas bahwasanya untuk kami, design dan kuliner harus bersatu dalam perut. Tetapi kekhawatiran kami tidak terbukti sama sekali bahkan berbalik 180 derajat. Begitu  tiba di tempat parkir kami sudah disambut ramah oleh tukang parkir yang wajahnya penuh senyum dan secara tiba-tiba mata menangkap sebuah pemandangan unik. Ada sebuah panggung mini untuk pertunjukkan wayang kulit di sisi sebelah kanan pintu masuk. Dan karena secara tiba-tiba sudah disuguhi sebuah image yang menakjubkan maka rasa penasaran segera mendorong kami untuk cepat-cepat memasuki resto tersebut. Panggung kecil untuk pertunjukkan wayang kulit di halaman muka Saat kaki mulai melangkah memasuki selasar menuju pintu masuk, maka disepanjang selasar  itu mata dan rasa keingintahuan kami disambut dengan barisan kliping dari berbagai majalah dan koran tempo doeloe yang kemudian dibingkai dan dipasang berjajar. Kebanyakan berita ataupun gambar yang di-kliping memang yang mempunyai kaitan dengan kota Malang, seperti misalnya gambar mengenai operasi lalu lintas yang dilakukan polisi di seputaran alun-alun pada tahun 1932, berita peresmian hotel Palace (atau sekarang Hotel Pelangi) pada tahun 1925, dan sebagainya, tetapi kami rasa sangat informatif dan menambah wawasan kami sebagai warga yang notabene bukan warga Malang. Apalagi pada beberapa sudutnya diletakkan pesawat-pesawat telepon tua, radio-radio tua dan berbagai benda antik lainnya yang menambah asyik suasana yang ada.

Lorong Masuk ke areal makan yang dihiasi gambar kliping dari koran dan majalah dulu Tetapi yang paling mencengangkan kami dan kebetulan berkaitan dengan apa yang selama ini menjadi bidang pekerjaan kami adalah adanya gambar teknik arsitektur asli dari rencana pembangunan Mesjid Besar kota Malang, di mana tertera tanggal pembuatan gambar itu adalah 24 Februari 1923. Menakjubkan.

Sebuah gambar kerja arsitektur Mesjid Besar Malang 1923 Memasuki area makan, lagi-lagi kami dibuat takjub. Deretan topeng menghadang langkah kami sekaligus seperti menyambut kami dengan berbagai ekspresinya. Jajaran meja kursi terbuat dari jati dengan model meja dan bangku warung seakan siap kami duduki dan barisan pelayan dengan dandanan khasnya (perempuan memakai kebaya, sementara lelaki mengenakan beskap model kolonial) membuat kami semakin yakin bahwa seluruh syarat kami dalam berkuliner dapat terpenuhi di sini.

Barisan topeng menyambut Ditengah-tengah area makan ada sebuah display yang menyerupai warung kecil betul-betul mengusik pandangan kami. Terbuat dari bambu dan tetap dengan pernak-perniknya yang khas tempo doeloe warung itu kian terasa menambah keyakinan kami itu. Apalagi banyak sekali ornamen-ornamen jaman dulu yang menghiasi dinding di seluruh area makan tersebut, ada plang-plang iklan, mesin tik, radio-radio, peralatan makan, fosil-fosil dan sebagainya.

Warung kecil mengusik di tengah area makan Dan yang menambah kekaguman kami di ujung ruangan area makan tersebut, berdiri dengan megah sebuah panggung besar yang berisi komplit seperangkat gamelan yang pada waktu-waktu tertentu dipergunakan untuk menampilkan beragam kesenian, seperti ludruk, wayang orang, musik keroncong, dan sebagainya. Tetapi berhubung malam itu tidak ada pagelaran, maka hanya lagu dari kelompok Koes-Plus yang diperdengarkan pada kami, sungguh menambah romantisme tempo doeloe.

Panggung Madya Nah, tibalah saatnya kami memulai petualangan perut kami. Dengan buku menu yang covernya terbuat dari sampul buku besar kantor jaman dahulu, mulailah mata kami menyusuri daftar-daftar makanan yang disajikan di tempat tersebut. Dan ternyata seluruhnya adalah menu asli khas Indonesia. Berhubung genderang dalam perut sudah berbunyi kian nyaring, maka tanpa panjang lebar kamipun mulai memesan. Ada yang memsan sayur lodeh, ada yang pingin pecel lele, ada yang suka tempe penyet, ada yang mau kangkung cha dengan minuman-minumannya yaitu soda gembira, juice sirsak, es teh manis dan sebagainya. Apalagi disajikan dengan wadah dan tempat yang menarik. Hmmm ...sikat abis!

Makanan yang disajikan dengan menarik Karena beberapa dari kami tidak merokok, maka rekan-rekan yang kebetulan terjangkit ketagihan merokok segera mengasingkan diri menuju ruang depan untuk menuntaskan segala ritual suci yang selalu dilakukan sehabis makan tersebut. Di ruang depan kebetulan ada beberapa meja kecil yang sepertinya memang disediakan bagi kaum perokok tersebut. Yang unik adalah asbak-asbaknya terbuat dari anglo yang dialih fungsikan, dan yang lebih mengasyikkan setiap asbak tersebut diapit oleh dua patung kecil yang "sex educational" banget Kreatif dan menarik.

The sex educational statue Akhirnya setelah mengakhiri ritual makan-makan jasmani dan rohani kami tersebut, dengan rasa enggan kamipun harus segera angkat kaki dari tempat tersebut. Apalagi ternyata jumlah yang harus kami bayarkan pada kesempatan itu kami rasa masih dalam batas yang wajar dan sangat sesuai dengan ekspektasi yang kami harapkan. Maka tidak salah rasanya bila kami berjanji dalam hati untuk selalu mengunjungi tempat tersebut setiap kali kami berkunjung ke kota Malang. Ditengah tekanan pekerjaan yang saat itu sedang kami laksanakan, akibat date-line yang terasa seperti terus mengejar, maka kunjungan kami ke tempat tersebut terasa bagaikan oase yang sedikit dapat menyegarkan kami dan memberikan semangat baru serta keyakinan pada kami bahwa masakan yang enak serta design yang asyik akan bersatu dalam perut dan memberikan inspirasi baru kepada kami untuk tetap melanjutkan karya-karya kami. Tetap berkarya sambil makan enak !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline