Lihat ke Halaman Asli

Cinta Imaji Berbayarkan Hilang

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Selamat malam”

Itulah kalimah perdana yang meluncur manis dari bibirmu yang menghitam. Sepuntung rokok teronggok lemas dikepit jari telunjuk dan tengahmu. Berkali-kali kau menggaruk rambut keritingmu yang panjang tergerai. Sesekali terbatuk dan kembali mengisap rokok kretekmu. Aku masih diam. Mengangguk-angguk sesekali sambil mendengarkan alunan instrumen biola berjudul “Viva” dari kedua earphoneku. Volumenya tak full, itu agar aku mendengar suaramu, desah nafasmu, atau mungkin lebih dari itu, suara detak jantungmu.

Kita hanya diam, duduk bersebelahan. Menikmati secangkir kopi kental yang pahit kemudian sibuk dengan pikiran masing-masing. Sejak malam itu, tak banyak yang dapat kubagi. Apalagi? Sampai berbuih mulutku pun tentu kau takkan mengubah keputusanmu. Jadi, buat apa lagi aku banyak bicara, toh tiket itu sudah di tanganmu dan kini sudah tidur manis di dompetmu. Aku tertunduk, mematut-matut keengganan yang menjalari relung hati. Aku malas berdebat lagi denganmu.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kenapa kau tak mencegahku pergi? Kenapa kau malah membisu dan membiarkan tanganmu saja yang menyentuh pipiku? Apakah rasa itu telah menghilang karena keputusanku? Ataukah kau cemburu pada Kala yang kini tertawa lepas menikmati tiap keresahan dalam hati kita? Aku tak tahu menahu alasan kau berkata “sudah”. Apa pantas kau berucap bila hatimu masih merasa tersiksa hendak menerobos dinding-dinding penuh sekat malu? Mengapa hanya aku yang bertanya? Mengapa jua kau tak menunjukkan sikap untuk mencegahku pergi?

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kau lupa bahwa di hari kepergianmu, usiaku kan berkurang? Kenapa bisumu itu kau luap-luapkan? Apa susahnya mengatakan “jangan”? Aku menunggu hampir serupa malam menanti purnama dan kini haruskah kulepaskan kau. Sungguh, palung keindahan tlah menjilat-jilat api kegoyahan. Aku hampir ditenggelamkan sang Geni. Aku hampir kalah, tapi entah....Apa kau paham bahasa jiwa?

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku bosan disini. Di dekatmu membuatku semakin tak bisa konsentrasi. Besok aku harus pergi. Itu juga demi kau. Kau tau kan, ini sudah kesekian kalinya aku kembali dan hanya membawa pulang kehampaan. Aku tak bisa lagi begini. Selamanya hanya mematung dan meninggalkan abu rokok di asbak sebelah kiri depan kursimu. Kau tahu aku gampang lelah dan menanti kepastian adalah sebuah kesia-siaan. Aku mau kau tapi harus dengan apa? Memintamu hanya akan merusak kewibawaanku. Aku pantang dianggap takluk tapi melepasmu, itu sebuah kepapaan bagi hidupku. Esok aku pergi, dan aku pasti menangisi jarak yang menjalari jejak-jejak kita. Ah, Kinanti...Aku risau padamu, pada keputusan ini. Tapi...

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tapi duka adalah permainan. Aku paham kesedihan itu. Ah kau tak mau mengaku pula. Mana bisa aku tahu....Bayu. Kau menyematkan putih ingin itu ataukah tidak???

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudahlah, aku enggan berlama-lama. Kubereskan sisa puntung rokok yang ada di hadapanmu. Merekatkan jaket hitam lusuhku hingga badanku merintih sakit karena kupaksa bangun dari luka menunggu. Kakiku pun bercengkerama acuh dengan tanah. Malas pulang, tuturnya. Dan inilah aku sang serdadu yang kalah dalam mengabadikan ingin. Nafsu tak ada disini, kawan. Karena ia tlah dibuang hingga karam di sisi lautan ikhlas. Hanya bisu dan degup kegundahan yang ada dan masih setia mendamba rupa. Aku kalah. Skakmat.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku paham kini. Kau sudah tak mau menjajari. Lantas buat apa, kita saling bersama disini. Mungkin frekuensi tak lagi serasi. Ah...merajalah meraja luka-luka itu. Sayap yang seyogianya kurentangkan untuk mendekapmu pun tlah terkoyak, tercabik Kala yang kini semakin lepas menertawakan kebodohan kita. Aku tak mau membiarkannya menang namun untuk apa memperjuangkan ????

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Aku pulang, Dik. Sudah malam. Besok aku harus pergi pagi-pagi. Kau mau kuantar?” ujar Bayu lirih. Burat luka dan lelah tampak jelas menangui wajahnya. Ada kesedihan namun berusaha disembunyikannya lewat rokok yang disematkan di bibir.Kelu, hanya rintik yang kini menari di semesta atas mereka.

“Ya. Aku tahu. Aku juga malas. Memalamkan tubuh dalam buai gelisah antara adalah kosong hasilnya. Semoga esok berhasil ya. Maaf aku tak bisa menemanimu ke bandara.” Kinanti masih menunduk tak mampu diangkatnya kepala. Apalagi menatap mata. Itu sebuah kenistaan karena pelupuknya kini meneteskan air kesucian. Mata itu berairkan kesakitan. Jerit duka tak ayal lagi membenamkan raganya dalam-dalam. Ia remuk.

“Oh ga papa. Aku sama teman-teman kok. Lagian besok Dik kan ada urusan. Semoga lancar juga ya”. Ah klise sekali kalimah itu, menyesal tapi tiada gunalah.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tak ada selamat tinggal. Yang hadir hanya salam bisu desau angin yang menyibakkan anak rambut di kening. Kecupan menjadi basi dan rangkulan pisah adalah sebuah khayal. Cinta tak terkatakan namun isyarat cukup mampu ditebarkan oleh hati. Ah, perpisahan berujung mati. Rasa hanya bualan tanpa kata yang sempat dititip otak pada bibir. Perih memang perih. Bayu meminang Kinanti dalam imaji. Sungguh, sayang beribu sayang, imaji tak sejalan realiti. Karena kini, ragawi memusat pada hilang. Hilang dalam artian harga mati untuk sebuah cinta yang belum sempat disampaikan lewat bibir. Lewat bibir kedua insani.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline