Lihat ke Halaman Asli

QORI HANDAYANI

Seorang Guru Pendidikan Pancasila

Demokrasi dalam Kotak Kosong

Diperbarui: 28 Agustus 2024   23:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

              Pesta demokrasi dengan semarak kita gelar sepanjang tahun 2024, setelah diawali pemilihan presiden dan wakil presiden serta lembaga legislatif tingkat pusat dan daerah pada bulan februari kemarin, menjelang akhir tahun nanti kita akan menggelar pilkada serentak di berbagai daerah, baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Sungguh sebuah pesta rakyat yang demokratis, karena setiap rakyat memiliki hak dalam menentukan pilihannya sendiri serta memberikan mandatnya kepada pasangan terpilih untuk meneruskan estafet kepemimpinan negara.

              Pasangan presiden pada tahun ini tentu lebih menarik karena menghadirkan 3 pilihan calon dan wakil presiden, teramat berbeda dibanding 2 periode pemilu sebelumnya yang hanya menghadirkan 2 poros. Setiap calon tentu memiliki visi misi yang berbeda, memiliki partai pengusung dengan pandangan yang berbeda, serta menghadirkan kelebihan dan kelemahan masing-masing calon sehingga kita sebagai rakyat memiliki berbagai pilihan dalam menentukan sikap, memang seperti itulah menariknya perbedaan dalam demokrasi.

              Namun sayangnya poros ini tidak sejalan dengan pemilihan kepala daerah di beberapa daerah yang justru memunculkan pasangan Tunggal, sehingga harus melawan kotak kosong. Seolah hanya ada satu orang yang dianggap berkompeten dalam memimpin karena diusung oleh hampir semua partai politik. Masih membingungkan kenapa dari banyaknya partai politik yang memiliki pandangan yang berbeda, namun hanya memiliki satu suara dalam memberikan rekomendasi di pilkada.

              Kemunculan calon Tunggal tentu menimbulkan beragam tanda tanya bagi masyarakat awam ini, Apakah ini baik untuk demokrasi kita, atau justru sebagai tanda kemunduran demokrasi yang berjalan? Mengapa semua partai satu suara kepada 1 pasangan calon saja? Apakah kaderisasi di partai tidak berjalan dengan baik sehingga tidak mampu memunculkan sosok dengan elektabilitas yang cukup baik? Apakah memang benar untuk menjadi kepala daerah harus memiliki mahar politik, sehingga seseorang yang berkompeten pun harus memiliki modal yang cukup besar agar bisa dicalonkan oleh partainya? Mengapa tidak ada lagi partai yang ingin menjadi oposisi dan penyambung lidah rakyat? Rasanya sekarang ini semua banyak yang memilih tidak bersuara dan hanya satu suara, lalu untuk apa banyak partai di negara ini?

              Rasanya merindukan oposisi seperti di periode sebelumnya, saat ini memang demokrasi kita menjadi adem ayem tidak ada perbedatan di ranah publik serta kegaduhan yang terkadang tercipta, namun bagaimana jika ketenangan ini justru tidak berdampak baik untuk masyarakat. Bagaimanapun nanti, semoga dengan momentum pemilu ini menjadikan negara kita senantiasa melaju ke depan dengan banyaknya pemimpin yang semakin mengupayakan kesejahteraan rakyatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline