Lihat ke Halaman Asli

KPPU: Wasit atau Tukang Parkir?

Diperbarui: 29 Maret 2017   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saat-saat masih SD kawan. Hoby saya nonton bola tidak bisa dihalangi bahkan dengan portal depan komplek sekalipun. Kala itu yang booming adalah Super Soccer alias Liga Italia. Mohon maklum kawan, penulis merupakan bagian dari anak 90 an. Club favorit saya apa lagi kalau bukan Juventus atau si Nyonya Tua. Hitam putih, loreng zebra itulah kebanggaanku periode itu. Mengenang masa itu sedikit menggelikan. Anak kecil (so imut) bangun pukul dua dini hari, hanya untuk nonton siaran langsung dari negeri Roma. Tujuannya satu kawan, untuk jadi bahan obrolan di sekolah besok harinya. Bones, Bocah Ngenes

Tidak seperti sekarang, dulu saya nonton masih dengan TV tabung ukuran 14 inchi. Merk TV nya sama dengan sponsor utama club kebanggaan saya, SHARP. Dari layar cambung itu saya menyaksikan dua kesebelasan yang saling memperebutkan bola di atas lapangan hijau ditambah satu orang berkaos kuning yaitu WASIT.

Mengomentari Wasit ini, saya teringat isu yang berkembang sekarang kawan. Sebuah lembaga independen negara yang mengawasi persaingan pasar (KPPU) ada yang menyamakannya dengan Wasit. Gubrak, ada apa gerangan? Spontan saja, saya membayangkan salah seorang Dosen saya yang juga anggota komisi di sana menggunakan kaos kuning, celena pendek, sepatu bola, kaos kaki selutut kayak stocking emak-emak, plus pake pluit. Pritttt.. percis bunyinya Tukang Parkir di tepi jalan.

Menurut hasil investigasi kawan, ternyata tugas KPPU ini bukan main-main, bukan juga rebutan bola. Tetapi, mombongkar praktek curang para pengusaha. Pengusaha tengik, picik dan pecundang. Pengusaha-pengusaha yang berusaha memonopoli pasar. Mengatur harga barang. Tujuannya satu kawan, memperkaya diri walaupun dengan cara terlarang. Tekanan KPPU ini luar biasa berat. Tekanan dari pengusaha tengik agar kasusnya jangan diselidiki. Juga tekanan dari pengusaha soleh-solehah agar agar usaha mereka tidak gulung tikar gara-gara ulah pengusaha-pengsuaha bangsat.

Sungguh kasian dan tragis, dari hasil pengusutan. Ternyata hampir 60% dari pegawainya keluar. Entah itu resign atau diresignkan paksa alias PHK. Bisa jadi tekanan kerja yang jadi alasan utamanya. Entahlah kawan, itu hanya bisikan setan. Aslinya apa, mungkin itu menjadi rahasia dapur perusahaan.

Lah kembali ke topik semula, yaitu Tukang Parkir eh salah, Wasit kawan. Atas tuduhan beberapa oknum yang menyebut KPPU sebagai Wasit, maka KPPU ini bisa dikatakan Wasit tanpa pluit kawan. Masalahnya ketika Wasit menemukan persaingan tidak sehat, Wasit tidak bisa berperan. Lah wong pluitnya diambil tukang parkir, eh kesebut lagi ni tukang parkir.

Contohnya kasus kartel SMS, kawan. Usut punya usut, kartel sms ini merugikan konsumen hingga 2,8 triliun. Coba aja abang Sutrada tahu bisa jadi film nih. Tukang Parkir Naik Haji. KPPU menghukumi mereka dengan denda sebesar 77 triliun. Akan tetapi keputusan KPPU tidak bisa langsung dieksekusi. Lah wong yang dituntut malah gugat ke Pengadilan Negeri. Akhirnya selang 8 tahun kemudian, tepatnya 26 Februari 2016. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi KPPU dalam perkara NO 9 K/Pst. Sus-KPPU/2016.

Huft, nunggu delapan tahun dulu kawan, baru bisa dieksekusi. Ada beberapa kendala yang sebenarnya dihadapi oleh KPPU untuk membuktikan kecurangan. Satu diantaranya kelemahan KPPU dalam menggali informasi secara langsung, karena KPPU tidak bisa menggeledah dan juga menyita. Kalau wasit kan mending, langsung terjun ditengah pertempuran. Lah KPPU, tidak bisa. Maka kalau ada yang menayamakan KKPU dengan Wasit yang musti tersinggung adalah Asosiasi Wasit. Karena peran wasit menjadi direndahkan atau dikerdilkan.

KPPU ibarat Macan, ia adalah Macan Ompong, ibarat Ayam Jago ia adalah Ayam tanpa taji. Tapi kalau istilah sepak bola, KPPU adalah Wasit setengah Tukang Parkir. Tanpa Tukang Parkir, tuh mobil sama motor penonton bola mana bisa keluar kawan.

Salam Damai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline