Bogor (22/2) - Setelah minyak goreng, kisruh di pasar dalam negeri kembali ramai oleh harga tahu dan tempe yang melambung dan banyak dikeluhkan masyarakat. Dan kini di pasarpun tahu dan tempe langka. Harga tempe dikonsumen saat ini mencapai Rp 8.000 dari harga normalnya Rp 5.000 per kepingnya, sedangkan tahu dijual pada harga Rp10.000 dari harga normalnya Rp 9.000 per bungkus. Hal tersebut karena harga bahan baku tahu dan tempe yaitu kacang kedelai impor yang naik dari Rp 9.500 sampai Rp 10.000 per kilogram menjadi Rp 12.000 per kilogramnya.
Pertanyaan yang jarang disampaikan adalah, mengapa tempe dan tahu seolah-olah menjadi "makanan pokok" sebagian besar masyarakat. Padahal bahan baku tempe yaitu kacang kedelai berasal dari negara lain (impor). Dan kini seiring berjalannya waktu komoditas impor tersebut telah menumbuhkan perekonomian hingga masyarakat ekonomi paling bawah.
Namun, apakah jika dihitung lebih rinci dengan bahan baku impor tersebut akan menguntungkan perekonomian Indonesia?. Dengan ketergantungan bahan baku impor, maka komoditas tersebut akan sangat mudah dimainkan baik harga maupun stoknya oleh negara pengekspor. Sebenarnya siapa yang diuntungkan?
Apa lagi saat kondisi pandemi seperti ini, "makanan pokok" yang kebutuhannya tergantung dari negara lain tentunya kurang arif bagi perekonomian dan kemandirian pangan nasional. Sementara program pemerintah dalam memproduksi kedelai secara mandiri, masih membutuhkan waktu agar jumlah, harga dan kualitas yang dihasilkan dapat menggantikan kedelai impor.
Sebenarnya Presiden RI Pertama, Ir. Soekarno pernah mengingatkan agar kita jangan menjadi bangsa tempe (tergantung pada pangan impor).
"Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."
Jumlah Impor Kedelai
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) lewat katadata.co.id, impor pada tahun 2018 sebanyak 2,6 juta ton, 2019 sebesar 2,7 juta ton dan pada th 20020 sebanyak 2,5 juta ton atau sebesar 86,4% kebutuhan kedelai masih disuplai dari negara lain (impor). Diplomasi dan sistem perdagangan juga politik telah menggiring bahan baku impor tersebut menjadi makanan yang sangat digandrungi oleh masyarakat, menjadi "bahan pokok" bahkan makanan khas Indonesia dan beberapa daerah.
Selanjutnya data BPS tersebut juga menyebutkan bahwa konsumsi tahu dan tempe per kapita di Indonesia sudah sangat merakyat, yaitu dalam sepekan rata-rata pada th 2019 sebesar 0.15 kg untuk tahu, sedangkan tempe sebesar 0.14 kg per kapita.
Kegoncangan harga tahu dan tempe yang saat ini sedang terjadi, menyebabkan keresahan tersendiri di masyarakat. Banyak yang melakukan demonstrasi, mogok produksi bahkan turut mempengaruhi komunikasi di tingkat politik. Sebuah kondisi yang patut kita cermati dari sebuah komoditas pangan impor.
Menurut Kementerian Perdagangan melalui suaramerdeka.com, kenaikan bahan baku kedelai impor dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama adalah naiknya harga kedelai impor yang disinyalir akibat adanya kenaikan inflasi di negara produsen yang berdampak pada kenaikan harga masukan produksi, terjadi kekurangan tenaga kerja, kenaikan biaya sewa lahan, dan ketidakpastian cuaca di negara produsen.