Kalau diingat-ingat, Ramadhan itu bulan yang penuh kejutan. Apalagi buat mahasiswa rantau yang tak punya cukup modal---alibi penghematan. Bagaimana tidak penuh kejutan, hari-hari mahasiswa "mandiri" ini dipenuhi dengan rencana ekspansi dari masjid ke masjid, demi menebus sebuah harta karun yang dirindukan di kala Maghrib: Takjil Gratis. Nah, harta karun inilah yang jadi sumber kejutannya.
Tiap masjid menyuguhkan "emas" yang berbeda-beda. Ada yang memberikan nasi, kudapan saja, minum, atau bahkan ada yang lengkap macam warteg gratis. Rasanya melihat kotak takjil di depan mata itu, adrenalin kita langsung terpacu.
"Harus jadi milikku!"
Ya namanya mahasiswa, manusia biasa yang masih punya perut, dapat takjil itu sebuah keberuntungan.
Tapi kadang ada saja rintangan yang harus dihadapi (beuh dramatis sekali). Sudah datang ke masjid lebih awal dan shalat di barisan paling depan, ternyata takjil dibagikan di luar masjid. Rela memperlambat bacaan tilawah agar kebagian waktu saat pembagian harta karun, eh ternyata kehabisan. Atau berharap dalam kotak putih karton yang berjejer itu setidaknya ada lauk ayam, eh ternyata hanya kurma. Hayo ngaku, pernah begitu juga?
Mau mengakui atau tidak, salah satu yang dirindukan dari Ramadhan adalah sensasi berburu takjil di bulan yang menciptakan gelombang sedekah paling besar. Seharusnya kita juga turut andil jadi orang dermawan ya di bulan ini, agar yang jadi rebutan tak cuma makanan tapi pahala. Dasar ya, entah kenapa pikiran mahasiswa yang harusnya berisi ilmu-ilmu mensejahterakan umat, ketika bulan puasa malah dipenuhi strategi berburu takjil gratis.
Kalau kamu, punya cerita apa lagi soal berburu takjil?
