Bu.
Bersama derai gerimis,
Beriring harmoni kicau jangrik.
Aku tulis puisi ini kepada Tuhan. Kepada dzat yang kini kau disisi-Nya.
Ah, sekadar pelepas rindu, se-dasawarsa kepergianmu.
Bu.
Embun dingin dimataku meluap,
Bersama derai tangis awan, musim angin berkabut,
Serta segelas teh hangat yang hampir dingin.
Aku meneguk rindu manakala kuteguk perlahan teh hangat yang hampir dingin itu.
Didalam gelas refleksi wajah tirusmu membias hingga ke bola mata
Sontak ingatanku melompat-lompat mundur ke se-dasawarsa lalu,
Kala terakhir ku liat wajah penuh ikhlas itu tersenyum,
Kala terakhir kurasakan tangan lembut itu merangkul pundakku.
Maka sontak embun dingin dimataku meluap
Derai keringat diam-diam mengucur dibalik pelipis baju.
Dia malu-malu, mungkin tak mau tetes hujan diluar sana cemburu.
Bu.
Saat ini dua dasawarsa sudah batang usiaku.
Kau tau,
Dasawarsa pertama pastilah usia terbahagia sepanjang hayatku..
Masa kala aku menyusu peluh, menerima kasih utuh
Masa kala rangkakanku kau latih
Hingga aku mampu berdiri.
Hingga aku sanggup berlari.
Bu.
Tentang dasawarsa pertama dan yang disebut masa lalu
Hingga dasawarsa terakhir di batang usia ini,
Terima kasih atas benih-benih keikhlasan yang telah kau semaikan.
Di rahimmu, kau dan aku bertaruh nyawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H