Lihat ke Halaman Asli

Filosofi Cinta

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cinta bukanlah seberapa banyak kita mendapatkan pengakuan dan kebaikan. Melainkan cinta adalah seberapa besar kita mengakui cinta itu dengan memberikan yang terbaik bagi orang yang kita cintai. Meskipun berjuta sakit akan kita terima, meskipun beribu liku harus kita tempuh. Namun cinta bukan paksaan yang memaksa kita melakukan itu semua. Karena itu semua atas dasar kesadaran.

Hujan masih turun begitu derasnya tatkala terang memberikan isyarat bahwa pagi telah datang. Namun hujan menghalangi sang mentari untuk keluar dari peraduan malamnya. Sehingga hanya bias-bias cahayanya yang tampak sedikit redup dari ufuk timur.

Dan hal itu tampak jelas mewakili suasana hatiku saat ini. Ketika kerinduan datang menetap dan menghantui sukma dan tak kunjung mereda. Ketika desakan kalbu yang memintaku untuk segera meluapkan rasa rindu itu. Dan ketika keadaan memaksaku untuk menahan itu semua.

Hujan telah membasahi dan membanjiri hatiku. Dengan rasa rindu yang menggebu-gebu yang aku sendiri tak tahu dari mana ujung dan sudutnya. Mentari sedang enggan menyapa hatiku. Bermuram durja dengan segala luapan rasa rindu yang sungguh menggelikan. Bukan. Bukan menggelikan. Malah terasa begitu menyakitkan di setiap sudut dinding-dinding hatiku.

“Apa yang sedang kau fikirkan?” satu suara membuat mataku berkedip enggan.

Aku mengedikkan bahu enggan menjawab pertanyaan Herman, abang bungsuku. “Bukan apa-apa.”

Herman menghela nafas panjang di sela-sela kepulan asap rokok yang baru saja keluar dari mulut dan lubang hidungnya. “Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan laki-laki itu.”

Aku menatap abangku dengan enggan dan mendengus kesal. “Bukan urusanmu, Bang. Sudahlah. Baiknya kau jauh-jauh dari sini. Aku mual dengan asap rokokmu.”

“Dasar perempuan. Sensitif terus bawaannya,”

Sesungguhnya yang menjadi kerinduanku selama ini bukan berarti aku sudah bertemu dengannya lalu berpisah dan belum bertemu hingga sekarang. Malahan, pun aku belum pernah menjumpai seperti apa rupanya hingga sekarang.

Lalu kau pasti akan bertanya-tanya, dari mana kerinduanku berasal.

Ah. Aku juga masih mencari-cari jawaban itu.

“Tertawa saja kau sampai puas, Marni!” ledekku kepada teman kerjaku setelah mendengar curahan hatiku tentang kerinduanku yang-mungkin-menurutnya aneh.

Wong ndak pernah ketemu kok bisa kangen-kangenan gitu?”

Aku mendengus kesal lantaran tertawanya yang terdengar mengejekku. “Aku sudah bersumpah, kalau suatu hari nanti aku pasti akan bertemu dengannya.”

“Tunggu, tunggu!” Sergah Marni dengan raut muka penuh tanda tanya. “Lalu bagaimana ceritanya kau bisa mengenalnya hingga sekarang?”

Aku menggeleng pelan. “Entahlah. Rumit kalau kuceritakan.”

Ya, hanya sampai di situlah pembicaraan kami.

Awal pertama kali aku mengenalnya adalah ketika ia mengirimiku pesan singkat yang isinya hanya tiga deretan huruf A, M, dan I. Yaitu namaku.

Dan didorong rasa penasaranku yang tak dapat kutunda pada saat itu, akupun membalasnya hingga pada akhirnya kita saling mengenal dan sampai sedekat sekarang.

Sore inipun ia meneleponku lagi.

“Ami,” suara lembutnya mendebarkan nadiku.

“Hm?” jawabku singkat.

“Kamu hebat banget bikin filosofi. Coba, kamu bisa nggak bikin filosofi tentang cinta?” ia menantangku.

Aku tertawa kecil menanggapinya. “Bisa.” Aku mulai menyusun beberapa rangkaian kata di dalam otak dan menyimpannya di dalam ingatanku. “Cinta itu bukan menghitung berapa banyak kita mendapat pengakuan dan kebaikan. Melainkan adalah seberapa banyak kita membuat pengakuan tentang cinta itu dengan memberikan yang terbaik bagi orang yang kita cintai.”

“Benar juga. Mungkin kamu mau berbagi denganku, tentang kedekatanmu dengan seseorang, sebelum aku datang.”

“Itu artinya kamu ingin aku menceritakan tentang masa laluku?” aku menghela nafas. “Bukankah kamu sendiri yang pernah bilang padaku? Bahwa mengungkit-ungkit masa lalu di dalam sebuah hubungan, akan memicu keretakan di dalam hubungan itu.”

“Memangnya seberapa istimewanya aku buat Ami?”

“Entahlah. Tidakkah cukup kalau aku menekankan kata ‘aku sayang kamu’ dengan lantang? Karena perasaan itu timbul bukan karena sebuah atau sepuluh alasan.”

“Terkadang alasan juga dibutuhkan, Ami. Ketika kita merasa tidak ada kata-kata lain yang akan kita jadikan sebagai bualan dalam sebuah hubungan.”

Aku tersipu mendengar lontarannya. Ia begitu pintar merangkai kata-kata yang dapat meruntuhkan segala argumenku. Namun bukan maksud untuk menjatuhkan, melainkan memperkuat argumen itu sendiri.

“Kalau kamu diberi kesempatan untuk membuat satu permohonan, apa yang akan kamu minta?” tanyanya membuyarkan diamku.

“Aku?” tersenyum lagi. “Aku akan memohon yang sesungguh-sungguhnya. Aku ingin bertemu dengan pujaan hatiku, entah itu sekarang atau suatu saat nanti.”

“Semoga permohonanmu dikabulkan.”

“Amin.” “Permohonan yang akan dikabulkan oleh sang Agung adalah permohonan yang lahir dan hadir dari lubuk hati yang paling dalam. Itulah permohonan yang benar-benar tulus.”

“Ami,”

“Iya…”

“Kalau aku sayang kamu, apa kamu sayang aku juga?”

Aku tersipu. “Ya. Seperti yang tadi kukatakan.”

***

JUST FOR YOU, MU HUBBY :) HUG YOU DEEPLY

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline