Lihat ke Halaman Asli

qori agustiana

Pengasuh anak bangsa

Setelah 5 Pekan WFH Apa Kabar Kartini 2020?

Diperbarui: 21 April 2020   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pekan ke tiga work from home.....
Suara suara sumbang mulai bernyanyi, "yaah wfh nya diperpanjang lagi" sambil tepuk jidat.
Dulu akhir pekan paling dinanti, menikmati nyamanya berada di rumah seharian, saking nyamannya bertemu hari Senin terasa sesuatu banget. Jatah cuti paling ditunggu, bisa berpesiar meski sekedar melepas kepenatan rutinitas tugas harian yang tidak pernah selesai.

Masuk pekan ke lima sudah ada yang berteriak pengen kerjaaaa di kantor.
Begitu ada kesempatan yang ga bisa di hindari harus ke tempat kerja, bertemu beberapa kawan waaaah rasanya.
Ada apa dengan kita?

Dan aku seorang perempuan.
Oh bengini rasanya ya, ketika dipaksa merasakan sepenuhnya melaksanakan rutinitas sebagai ibu rumah tangga yang  sepenuh waktu berada di rumah bahkan melangkah untuk keluarpun dibatasi, hanya jika terpaksa harus keluar memenuhi kebutuhan. Kontak sosial pun hanya bisa dilakukan dalam layar kaca dalam genggaman tangan.

Duhai ibu Kartini, inikah yang ibu rasakan dulu? Saat ibu mesti berada di rumah sepenuhnya (dipingit).

Diantara kita ada yang memang harus berada di rumah sepanjang masa dengan tugas tugasnya  sebaga ibu bagi anak anak nya sepanjang waktu yang dimilikinya, mengurus rumah tanggannya yang bahkan tanpa bantuan orang lain. 

Diantara mereka tidak sedikit memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga sepenuh nya tidak berbagi waktu dengan dunia tempat kerja, meski mendapat pengalaman pendidikan tinggi. Bukan semata karena tidak ada  kesempatan  atau nasib tidak berpihak padanya untuk mengembangkan karir, tapi sebuah keputusan beralasan. Ada mimpi yang di ingin bangun meski berada di rumahnya.

Seorang perempuan yang merasa karena nasib nya harus menjadi seorang ibu rumahtangga tanpa tidak menginginkan lebih,  dengan seorang perempuan yang memutuskan tinggal dirumah sambil membangun mimpinya, yang berbeda adalah mindset yang dimilikinya, yang berbeda adalah spirit nya. Mindset dan spirit dibangun dari hasil  proses belajar.

     "Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya".(r.a. Kartini)

Duhai ibu Kartini, mengapa ibu berbeda dengan perempuan yang lainnya saat itu?
Mungkin ibu mewakili perepuan perempuan saat itu yang memiliki keberuntungan yang sama, hanya saja ibu mengekspresikan spirit ibu, dan ibu meninggalkan penggalan penggalan catatan, hingga kami mengenal ibu dengan semangat besar nya untuk memperjuangkan hak dasar seorang perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang sama tak dibatasi gender, tak dibatasi status sosial. Meski terjeda waktu berabad abad. Hak untuk meraih cita citanya.
 
         "Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi. Bila tidak bermimpi apakah jadinya hidup. Kehidupan yang sebenarnya kejam."(Ra Kartini)

Perubahan pola pikir yang dihasilkan dari proses pendidikan membentuk harapan dan keinginan untuk berkembang, untuk lebih maju dalam hal hal tertentu berdasarkan pengalaman belajar yang dimilikinya. Ketika seorang perempuan memutuskan untuk tinggal dirumah dan tetap memperjuangkan harapannya, karena juga memperjuangkan untuk tetap memenuhi  tugas gendernya sebagai perempuan semaksimal mungkin, karena ada tugas yang tidak dapat digantikan oleh pihak lain. Hal ini mungkin yang di tulis Kartini dalam penggalan catatannya:

"Bukan laki-laki yang hendak kami lawan, melainkan pendapat kolot dan adat usang."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline