Rakyat miskin takut berobat ke dokter? Sepertinya baru beberapa tahun yang lalu Pak Dokter menghadapinya. Berkali-kali ia gratiskan tarif untuk pasien-pasien yang tak mampu membayar. Sehari-hari ia menghadapi laporan warga miskin yang memilih menahan sakit daripada kocek jebol karena biaya berobat.
Tibalah hari yang ia tunggu-tunggu, 1 Januari 2014. BPJS Kesehatan diluncurkan! Wakil Menkes saat itu, Ali Ghufron Mukti, merupakan salah satu pejuang yang mengantar BPJS Kesehatan sampai ditandatangani oleh Presiden SBY. Segenap mantan dokter puskesmas seperti Pak Dokter bermimpi akan makin banyak rakyat yang berani ke dokter tanpa takut tak mampu membayar.
Di tahun 2015, Pak Dokter yang Muslim taat ini heran mendengar khotbah-khotbah masjid yang menyatakan BPJS haram. Entah kenapa, fatwa MUI saat itu dianggap mengharamkan BPJS. Padahal, MUI hanya menyatakan tak sesuai dengan syariah. Perlu diingat bahwa konsep dasar BPJS bukanlah investasi untung-rugi.
Menurut pihak-pihak yang mengharamkan, unsur premi bulanan bagi yang selalu sehat tidaklah memberikan keuntungan apa-apa, sehingga dianggap haram. Bagi yang sering sakit, bayar preminya terlalu sedikit dibanding keuntungan yang diterima (100% gratis biaya pengobatan), sehingga dianggap haram juga. Belum lagi unsur denda kalau telat bayar iuran. Padahal, BPJS adalah singkatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Jelas bukan komersial macam bank dan badan usaha.
Pemerintah Indonesia memang sedang bermimpi menjadi negara yang mampu memberikan keamanan sosial bagi seluruh rakyatnya. Tidak apa-apa, mimpi perlu setinggi langit. Khusus untuk bidang kesehatan atau universal health cover (UHC), tampaknya pemerintah berkiblat pada negara-negara maju di Eropa maupun Australia dan Kanada, yang sering disebut 10 negara paling sejahtera di dunia.
Di Australia, rakyat tak sepeserpun membayar premi UHC karena diambil dari 2% penghasilan kena pajak. Jika berobat ke dokter umum yang bekerja sama dengan UHC, maka tarifnya gratis. Jika berobat ke RS negeri, biayanya gratis walaupun lebih lama mengantri daripada RS swasta. Ingat, jumlah penduduknya cuma 20-an juta! Bisnis asuransi swasta masih berjalan, karena ada orang-orang yang butuh layanan lebih baik seperti RS swasta, gigi, kacamata, kosmetik, dan para warga asing.
Ketika negara-negara maju sudah puluhan tahun menerapkan UHC, ada negara "maju" yang belum punya. Contohnya Amerika Serikat, negara kapitalis yang pemerintahnya mendukung komersialisasi apapun oleh pihak swasta.
Alhasil, biaya berobat sangat mahal dan premi asuransi juga cukup mahal. Kantor-kantor berlomba-lomba memberikan subsidi premi asuransi kepada semua pegawainya. Orang-orang yang bekerja paruh waktu, pekerja lepas, dan pengusaha kecil harus menanggung sendiri ratusan dolar premi asuransi itu. Mereka yang tidak mampu terpaksa tak punya asuransi, sehingga tidak berani ke dokter. Persis di Indonesia. Belum lama ini Obamacare dibuat untuk membantu mereka, sehingga juga belum sempurna.
Bagaimana mimpi Indonesia tentang UHC? Di tahun 2015, Pak Dokter mulai mendengar kisah-kisah bahagia berkat BPJS Kesehatan. Ada orangtua teman yang gratis operasi jantung berat di RS Harapan Kita. Ada balita yang sembuh dari pneumonia berat setelah sebulan penuh dirawat di RS tanpa biaya sepeserpun.
Namun, keresahan seputar BPJS Kesehatan juga mulai terdengar. Pertama-tama, urusan premi. Jumlah yang terlihat kecil sekitar 25 ribu Rupiah itu, ternyata besar sekali untuk keluarga berpenghasilan rendah. "Anak saya lima, dan orangtua tinggal bersama saya, Pak. Setiap bulan saya harus bayar 9 x 25 = 225 ribu Rupiah. Itu cukup berat, Pak." Ternyata, banyak orang yang seharusnya masuk PBI (Penerima Bantuan Iuran). Selain itu, ada keluhan tentang aturan rujukan RS tingkat C, B, A yang dianggap membingungkan.
Tahun 2016, Pak Dokter mulai melihat sendiri di RS tipe A, bahwa jumlah pasien jauh berkurang. Begitu banyak rakyat yang menggunakan BPJS, sehingga mereka rela ke puskesmas atau RS tipe C demi gratis walaupun mengantri. Banyak penyakit sembuh lewat RS tipe C atau B, sehingga mahasiswa ko-as di RS tipe A mulai kekurangan studi kasus penyakit-penyakit ringan.