Suatu hari, seorang warganet Amerika Serikat berkicau di Twitter. Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut.
Sistem pemilu yang sempurna menurut saya:
1. Setiap warga negara yang umurnya memenuhi syarat akan otomatis masuk daftar peserta pemilih.
2. Hari pemilu dijadikan hari libur nasional.
3. Memilih dengan memberi ranking.
4. Kertas suara berisi pilihan "tidak memilih siapa-siapa"
Dengan membaca suara rakyat AS tersebut, kita jadi paham mengapa di AS ada cukup banyak jumlah golput. Menurut data di Wikipedia, sejak tahun 2000 jumlah peserta pemilih berkisar kurang lebih 55 % saja. Dalam arti, angka golput cukup tinggi sekitar 45 %.
Sedangkan di Indonesia sejak pemilihan presiden secara langsung, angka golput cukup rendah di kisaran 28-29 % namun masih lebih tinggi dibandingkan pemilu-pemilu terdahulu. Dari grafik di atas, terlihat sangat rendahnya golput sebelum ada pemilihan presiden secara langsung.
Dari cuitan warga AS di atas, kita sudah punya kondisi nomor 1 dan 2. Bisa jadi, rendahnya tingkat golput Indonesia dibanding AS adalah karena hal itu. Untuk ikut pemilu, rakyat cukup merujuk KTP masing-masing. Hanya yang sedang di perantauan saja yang perlu mendaftar di lokasi setempat supaya masuk daftar pemilih.
Di Indonesia, hari pemilu adalah libur nasional. Rakyat tidak perlu datang terlambat ke kantor maupun menghabiskan jatah cuti (yang memang sudah pas-pasan di AS) demi memilih anggota parlemen dan presiden.
Rakyat AS cukup ogah-ogahan menjadi pemilih, apalagi pemilihan presiden di AS sebetulnya tidak benar-benar langsung. AS memiliki sistem electoral college, yang beranggotakan 538 orang yang disebar ke 50 negara bagiannya. Setiap negara bagian diwakili oleh 3 s.d. 55 anggota tergantung jumlah penduduk masing-masing. Suara rakyat hanya dihitung di negara bagian. Misalnya jutaan rakyat memenangkan Clinton di California yang punya 55 orang anggota electoral college, maka secara nasional Clinton mendapat 55 suara.