Lily berjalan menuju puncak bukit dengan membawa bunga. Angin sore yang sejuk menyapu wajahnya, seolah menyapa dengan kelembutan yang familiar. Di setiap langkahnya, kenangan masa lalu datang ke dalam pikirannya seperti film yang diputar ulang. "Luke, tunggu!" seruan itu masih bergema dalam pikirannya. Saat itu, bayangan dua remaja yang berlari dengan tawa lepas menuju puncak bukit membayang di depan matanya. Lily tersenyum sendu, mengenang kebersamaan mereka.
Begitu tiba di puncak bukit, Lily duduk bersandar pada pohon besar yang selalu menjadi saksi bisu pertemuan mereka. Di depan matanya terdapat pemandangan gurun rumput yang hijau membentang hingga ke horizon, mengelilingi desa kecil yang kini terlihat tenang dari kejauhan.
Kenangan itu terus memutar. Ketika mereka tiba di puncak untuk pertama kalinya, Luke, dengan mata yang berkilau dan napas yang sedikit terengah, memandang ke arah desa sambil berkata, "Hei, lihat pemandangan ini, Lily. Bukankah ini luar biasa?" Lily tersenyum cerah, merasakan seolah-olah mereka berdua telah menemukan dunia mereka sendiri. "Iya, ini sangat indah dan damai," jawabnya sambil tersenyum. Luke memandang jauh ke depan, lalu berkata, "Aku akan menjaga kedamaian di desa ini, Lily. Aku janji." Dengan suara yang penuh harapan dan keyakinan. Dan setiap harinya mereka bermain dipuncak bukit itu.
Tetapi kedamaian itu tidak berlangsung lama. Pada suatu hari, pasukan dari kerajaan datang membawa kehancuran dan penderitaan. Para penduduk desa terkejut dan ketakutan saat pasukan kerajaan datang, dengan wajah yang kebingungan, kepala desa bertanya kepada pemimpin pasukan tersebut "Ke-kenapa kalian datang ke desa ini?" Dan pemimpin pasukan tersebut menjawab "Desa ini akan berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan ". Setelah mendengar hal itu, Luke tidak akan membiarkan kedamaian desa ini hancur begitu saja. Dengan tekad yang bulat, dia mengumpulkan para pemuda desa dan menyusun strategi untuk melawan ancaman yang semakin dekat. Luke telah berusaha sekuat tenaga. Dengan semangat yang membara, ia menghadapi pasukan itu, berbicara dengan lantang di depan semua orang, berharap bisa mengubah amarah menjadi pengertian.
Namun, pemimpin jahat menghiraukan perkataan dari Luke. Semua usaha telah dikerahkan, Luke menyadari bahwa tidak semua hati bisa dilunakkan oleh kata-kata. Tatapan tajam dari para prajurit dan hunusan senjata menjadi jawaban yang pahit. Luka di tubuhnya bukan hanya tanda perlawanan, tapi simbol dari harapan yang tidak ingin ia lepaskan. Saat itu, Lily menyaksikan bagaimana sosok Luke berdiri tegak, dengan mata penuh keyakinan. Dengan napas tersengal, Luke berteriak, "Jangan pernah menyerah! Demi desa ini, demi semua yang kita cintai!" Suaranya menggema di antara perbukitan, memberi dorongan pada penduduk yang mendengarnya untuk tetap berjuang. Sebelum akhirnya jatuh dalam hening yang menyakitkan. Air matanya tak tertahan, dan dengan suara gemetar, Lily berteriak "Luke!" Suaranya menggema di udara yang penuh dengan debu dan sunyi, membawa keheningan yang menggigit.
Saat tubuh Luke terjatuh, tatapan mata penuh pengorbanan itu menjadi nyala semangat yang tak padam di hati penduduk desa. Teriakannya yang terakhir menggema di pikiran mereka, membangkitkan keberanian yang selama ini tertutup oleh ketakutan. Penduduk yang mendengar seruannya mulai bergerak, mereka berkumpul di bawah satu keyakinan bahwa perjuangan Luke tak boleh sia-sia. Para penduduk dengan alat seadanya mulai melawan pasukan kerajaan. Semangat Luke seakan mengalir dalam setiap tindakan mereka. Dengan kerja sama dan keberanian yang tak terduga, penduduk berhasil memukul mundur prajurit-prajurit kerajaan.
Melihat perlawanan yang tak diduga dari desa kecil ini, pemimpin pasukan yang jahat dan pasukan kerajaan menyadari bahwa mereka menghadapi lebih dari sekadar sekelompok orang biasa; mereka menghadapi semangat persatuan yang tak bisa dikalahkan. Pemimpin Pasukan memutuskan untuk mundur.
Ketika pertempuran mereda dan keheningan menyelimuti kembali perbukitan, Lily berjalan mendekati tubuh Luke yang terbaring. Air mata membasahi pipinya saat dia berlutut di samping sosok yang dulu selalu membawa cahaya ke dalam hidupnya.Ia menggenggam tangan Luke, dingin dan tak bernyawa, berharap keajaiban bisa membangkitkan kembali senyuman hangat yang selalu menenangkannya. "Aku janji, aku akan menjaga semua yang telah kau perjuangkan, meski tanpa dirimu, dunia ini tak lagi sama."
Rasa kehilangan yang sama terasa ketika Lily duduk di puncak bukit, memikirkan semua yang telah terjadi dan janji yang pernah terucap. Lily menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, Lily mengusap air matanya dan mencoba menenangkan diri. "Terima kasih, Luke" bisiknya dengan wajah yang tersenyum. Tangannya meraih bunga-bunga yang Lily bawa, lalu meletakkannya di pangkal pohon yang telah menjadi simbol kenangan mereka. Sesaat setelah mengucapkan kata-kata itu, angin tiba-tiba berembus lebih kencang, menerpa wajahnya dengan lembut, seolah-olah membawa balasan dari seseorang yang tak lagi ada. Lily tersenyum tipis, merasa seolah Luke sedang menyapanya, mengingatkan bahwa ia tidak pernah benar-benar pergi. Dengan hati yang penuh kehangatan, Lily menatap desa yang masih berdiri damai, hasil dari perjuangan yang tidak sia-sia.
"Aku akan selalu menjaga apa yang telah kamu mulai, Luke" ucapnya dengan penuh keyakinan. Angin sepoi-sepoi yang segar terus mengalir, membawa kedamaian yang membuatnya yakin bahwa Luke akan selalu hidup dalam semangat mereka semua. Di puncak bukit itu, Lily merasa bahwa kedamaian yang mereka impikan bersama akhirnya menjadi kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H