Jangan lebay gitu deh! Kamu kan laki-laki.
Sering kali kita mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut masyarakat ketika ada laki-laki yang menunjukkan sisi lemahnya. Padahal sebagai manusia normal, laki-laki juga membutuhkan validasi tentang apa yang dirasakannya. Hal tersebut memaksa banyak laki-laki untuk selalu menunjukkan sisi kuatnya meskipun menekan ekspresi emosionalnya. Fenomena ini disebut toksisitas dalam maskulinitas atau toxic masculinity.
Toxic masculinity merupakan suatu fenomena yang tercipta dari masyarakat yang beranggapan bahwa laki-laki harus menunjukkan sifat jantan, tegas, berani, dan tidak menggunakan atau melakukan suatu hal yang berkaitan dengan perempuan. Anggapan tersebut memiliki dampak berbahaya yang mempengaruhi lingkup sosial maupun personal dari seorang laki-laki.
Membahayakan Kesehatan Mental
Penelitian yang dilakukan Ollife & Philips (2008) menyatakan bahwa laki-laki rentan terkena masalah kesehatan mental. Hal tersebut disebabkan oleh anggapan yang berlaku di masyarakat, laki-laki diharuskan untuk menahan ekspresi emosionalnya dan selalu menunjukkan sisi kuatnya. Anggapan tersebut menyebabkan banyak laki-laki memiliki masalah kesehatan mental yang diawali kecemasan, stress, hingga depresi.
Konsep toxic masculinity ini membuat laki-laki enggan memvalidasi emosi yang dirasakannya. Banyak dari mereka menganggap adanya gangguan kesehatan mental merupakan suatu hal yang melambangkan suatu kelemahan dan bertolak belakang dengan konsep maskulinitas yang berlaku. Mereka juga enggan mencari tahu mengenai gangguan kesehatan mental yang mereka rasakan sehingga mereka tidak mendapat penanganan profesional. Karena hal ini, banyak dari mereka yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Peningkatan Kekerasan dan Kesalahan Pandangan dalam Menjalin Hubungan
Konsep toxic masculinity yang mengagungkan konsep kekuatan dalam laki-laki seringkali membuat laki-laki memiliki kekeliruan anggapan yang mengarahkan mereka pada perilaku yang merugikan. Banyak kekerasan verbal maupun fisik yang diakibatkan oleh laki-laki terhadap perempuan dan anak-anak karena mereka menganggap perempuan dan anak-anak tidak memiliki kekuatan. Beberapa dari mereka juga menganggap kekerasan sebagai bukti dari kekuatan yang mereka miliki.
Anggapan tersebut juga menyebabkan kesalahan pandangan dalam suatu hubungan. Laki-laki yang terkena dampak toxic masculinity akan selalu merasa dirinya harus selalu kuat dan mendominasi dalam suatu hubungan. Hal tersebut menyebabkan mereka akan sulit berbagi perasaan emosional dengan pasangannya.
Krisis Identitas Akibat Pembatasan Berekspresi
Kekuatan di konsep toxic masculinity sering kali membuat banyak laki-laki membatasi ekspresinya. Mereka mungkin akan merasa terbelenggu untuk mengekspresikan perasaan yang dianggap tidak maskulin. Padahal hal ini justru membuat laki-laki merasa sulit untuk mencari jati dirinya.