Lihat ke Halaman Asli

Demi Kata Cinta

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mataku masih lekat memandang rerumputan di bawah kakiku. Aku tak memiliki keberanian menatap ke depan. Terlebih di depan ada seorang lelaki yang menatapku dengan harap cemas. Menunggu jawaban apa yang akan ke luar dari mulutku.

Batinku tak kalah cemasnya. Rian adalah lelaki yang aku kagumi sejak pertama menginjakkan kaki di SMA. Aku telah lama bermimpi mendapatkan hati Rian. Kini mimpi itu nyata di depan mata. Tapi kini semuanya berbeda. Pacaran bukan lagi menjadi jalan yang aku pilih.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Di antara kecemasan dan keragu-raguanku aku mencoba mengumpulkan kekuatan. Aku mencoba melawan semua godaan yang menyesatkan. Perlahan aku mulai tenang.

“Maafkan aku Rian, aku tidak bisa!” kataku dengan nada yang sangat rendah. Mungkin hampir tak terdengar jelas oleh telinga Rian. Karena itu dia memintaku berkata dengan jelas. “Maaf, aku tida bisa menerima kamu jadi pacarku” kataku lebih tegas.

“kenapa? Apa yang kurang dariku?” katanya mencoba memelas. Aku masih tetap dengan keputusanku. Pacaran bukanlah cara yang baik. Terlepas dari semua itu pacaran diharamkan dalam Islam.

“Aku tidak bisa. Pacaran itu haram Rian. Dan aku tidak mau menjadi penyebab kamu bermaksiat.” Kataku mencoba menjelaskan.

“Tapi….” Belum lagi Rian selesai, aku sudah beranjak dari tempat dudukku dan berlalu secepat mungkin. Aku tidak mau Rian semakin leluasa memainkan ritme hatiku yang aku paksa-paksakan untuk tetap kuat. Bukan hal mudah untuk meninggalkan sesuatu yang sebenarnya sudah lama aku nantikan.

Badanku terasa sangat lemas. Aku seperti habis kehilangan seluruh energiku. Bagiku keputusan menolak Rian untuk menjadi pacarku butuh kekuatan super besar. Tapi aku senang bisa melewatinya. Aku ikhlaskan keputusan ini sebagai bentuk ketaatanku kepada hukum-hukum Allah. Bismillah, aku pasti kuat.

Pagi ini rasanya aku sangat malas ke sekolah. Bukan hanya karena hari ini ada pelajaran yang sangat membosankan –PKN. Tapi juga karena ada Rian di kelas. Aku dan Rian memang satu kelas. Dengan begitu aku tidak akan mudah melupakannya begitu saja. Masih ada segumpal perasaan yang sulit aku maknai. Rasanya seperti kesedihan yang tak mau pergi. “Aku harus kuat!” kataku mencoba untuk memotivasi diri.

Dengan masih agak sedikit malas aku bangkit dan berangkat menuju ke sekolah. Aku tidak boleh terlambat. Guru yang bertugas hari ini sangat disiplin. Terlambat sedetik saja pasti langsung di suruh pulang. Aku mengayuh sepedaku dengan kecepatan maksimal. Berburu dengan waktu yang hanya memberi kesempatan beberapa menit untuk sampai ke sekolah. Untunglah aku selalu ahli dalam mengendarai sepeda. Aku tiba di detik-detik terakhir ketika pagar sekolah hampir di tutup. Alhamdulillah, aku tidak telat.

Aku parkir sepedaku dan langsung menuju kelas. Pagi itu suasana di kelas sangat berbeda. Mata-mata sinis menatapku dengan angkuh. Seolah aku adalah mantan narapidana yang baru saja terbebas dari penjara. Aku mencoba acuh –meskipun berat—dari tatapan mata-mata itu.

Seorang teman menghampiriku dengan tatapan yang tak kalah sinisnya. Dengan nada menyerang ia berkata “Ada yang sok kecantikan di kelas ini ya. Sudah untung Rian punya rasa suka ke cewek kaya kamu. Kenapa sok nolak kaya gitu?”. Dia menyerang dengan kata-kata yang terasa panas di telinga. Aku bingung dan tak tahu harus berkata apa. Yang terpikir di benakku saat itu bahwa aku melakukan semua ini demi ketaatanku. Bukan untuk bersikap angkuh.

Hari itu terasa sangat berat bagiku. Waktu di sekolah terasa begitu lambat berputar. Rasa-rasanya seluruh energiku terkuras habis. Aku hampir tak memiliki daya lagi untuk mengayun sepeda.

Di sisa-sisa kekuatanku, aku berjalan untuk mengambil sepeda dan ingin segera pulang, tetapi di tempat parkir sekolah aku melihat seseorang telah berdiri di depanku. Tepat di dekat sepadaku yang terparkir di sana. Tatapannya tajam dan penuh misteri. Aku sama sekali tidak bisa menebaknya. Saat melihatnya aku menunduk dan lagi-lagi mencoba bersikap acuh.

“Santi, aku mau bicara” pinta Rian yang terdengar seperti sebuah paksaan.

“Maaf, aku harus segera pulang sekarang” kataku mencoba untuk menolak.

“Tapi ini sangat penting. Tak bisakah kamu meluangkan sedikit waktu untukku?” pintanya lagi. Kali ini nadanya agak sedikit memelas.

“Maaf Rian, aku rasa tidak ada lagi yang harus kita bicarakan. Semuanya sudah jelas. Aku mohon kamu mengerti dan tidak lagi mengangguku.” Terangku dengan sedikit kekesalan. Aku tidak mau Rian terus menuntutku dengan tatapan yang sangat menakutkan menurutku.

“Kalau begitu jelaskan apa alasanmu biar aku tenang. Aku sangat mencintaimu dan berharap kamu mau jadi pacarku.”

Aku merasa terbakar mendengar kata cinta dan pacar. Aku bukannya benci dengan cinta. Aku tau bahwa cinta adalah hal yang alamiah. Semua manusia yang normal pasti mengalaminya. Tapi bukan berarti cinta itu dibiarkan liar. Ada aturan yang mengatur agar kesucian cinta tetap terjaga. Aturan itu jelas. Aturan yang datangnya dari Sang Maha Sempurna. Pemilik cinta sejati.

Aku lagi-lagi harus mengumpulkan kekuatan. Aku tidak ingin kata-kata cinta melunturkan keyakinanku. Aku tak ingin ada yang mencoba menghalangi jalanku yang telah aku ikrarkan untuk ta’at kepadaNya. Siapapun dia. Termasuk Rian.

“Rian, dengar baik-baik. Aku menolakmu bukan karena apapun melainkan karena keta’atanku kepada Allah. Aku memahami bahwa cinta memang sesuatu yang wajar. Tapi jika harus pacaran maka tidak ada kata kompromi. Itu haram. Sekarang kamu tahu alasanku. Jadi aku mohon simpan cinta itu di hatimu. Berfikirlah tentang sesuatu yang lain. Cinta tidak hanya untuk memiliki lawan jenis. Tapi masih banyak makna lain yang bisa engkau gali dengan belajar Islam kaffah.”

Aku menjelaskan panjang lebar dengan penuh keyakinan. Semangatku pun tak kalah dengan semangat juang 45. Lalu tak ku biarkan Rian berkata-kata. Aku berlalu dengan cepat ketika mengayuh sepedaku pulang. Aku tinggalkan Rian yang masih berdiri mematung. Entah apa yang dirasakannya. Sedih, kecewa, atau bingung. aku tidak tahu. Aku hanya berharap semoga ia menjadi mengerti akan keputusanku. Dan ini juga yang terbaik untuknya.

Semuanya sudah berakhir. Aku bertawakkal kepada Allah atas kelemahanku. Setidaknya aku telah berusaha mengalahkan keinginanku dulu yang ternyata terlarang. Semuanya aku lakukan juga demi cinta. Cinta yang telah aku simpan rapi dalam hatiku. Cinta karena mengenalMu. Tak ada satupun yang boleh menggantikannya. Bahkan cinta Rian yang semu sekalipun.

Aku bangga pada diriku sendiri. Aku katakan dengan puas pada batinku bahwa aku berhasil melalui ujian pembuktian cinta. Cintaku kepada Rabbku ternyata juga menuntut pembuktian. Cinta yang ku dapat tatkala membuka lembar-lembar surat cinta dariNya. Al-Qur’an. Aku terpana dan baru merasakan cinta yang sebenarnya.

Aku berhasil. Cinta itu kini tetap aku simpan dalam hati. Dan aku akan terus merawatnya. Dan tak akan membiarkannya kering. Semua itu demi cinta. Demi cintaku kepada Rabbku. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline