Ah, Muhammad, Muhammad. Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak bisa dibentungoleh apa pun. Dan jika seandainya cinta kami ini sunghuh-sungguh, betapa tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersana kepada Allah.
Akan tetapi, tampaknya cinta kamu tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami tidaklah seindah yang busa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana, dan kasidah-kasidah. Dalam sehari-hari kehidupan kamu, kamu lebih tertarik kepada hal-hal yang lain.
Kami tentu akan datang ke acara peringatan kelahiranmu di kampung kami masing-masing, tetapi pada saat itu nanti wajah kami tidaklah seceria seperti tatkala kami datang ke toko-toko serba ada, ke bioskop, ke pasar malam, ke tempat-tempat rekreasi.
Kami mengirim Shalawat kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah - karena Dia sendiri beserta para malaikat-Nya juga memberikan shalawat kepadamu. Namun, pada umumnya it hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri.
Seperti juga kalau kamu bersembahyang sujud kepada Allah, kebanyakan dari kamu melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluap-luap. Kalau kami berdo'a, do'a kami berfokus pada kepentingan pribadi kami masing-masing.
sesungguhnya kami belum memcapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk diseut sahabatmu, Muhammad. Kami mencintaimu, namun kami belum benar-benar mengikutimu. kami masih takut dan terus-menerus bergantung pada kekuasaan-kekuasaan kecul disekitar kami. Kami kecut kepada atasa. Kami menunduj krpada benda-benda. Kami bersujud kepada uang dan begitu banyaj hal yang picisan.
Setiap tahun kami memperingati hari kelahiranmu. Telah beribu-ribu kali umatmu melakukan peringatan itu, dan masing-masing kami rata-rata memperingati kelahiranmu 30 kali. Tetapi lihatlah: kami jalan ditempat. Tidak ada cukup peningkatan penghayatan. Tak terlihat output personal maupun sosial dari proses permenungan tentang kekonsisenan. Acara peningkatan Maulidmu pada kami mengalami involusi, bahkan mungkin degradasi dan distorsi.
Surat Kepada Kanjeng Nabi merupakan sebuah karya tulisan dari Cak Nun -nama panggilan akrab Emha Ainun Najib- di Surabaya Post pada tahun 1992 dalam rangka menyambut hari Maulid Nabi Muhammad. Seluruh umat islam dimuka bumi ini, mereka menjunjung tinggi, mereka mengagung-agungkan ratusan ribu kali dan mereka dekap intim dalam hati karena kemuliaanya. Muhammad tidak pernah disebut "kuno", dan namanya selalu dipelihara di zaman orang bertani hingga di zaman ultramodern ini ketika kekuatan alat informasi dan komunikasi dijadikan "dewa". Dalam tulisan tersebut Cak Nun menuangkan perasaan yang ada dalam dirinya dan umat muslim pada umumnya rasa cinta, kerinduan, dan kekagumannnya terhadap Nabi Muhammad SAW.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H