Lihat ke Halaman Asli

Qoniatul Izza

Mari menulis.

Cerpen: Desa Apa Ini?

Diperbarui: 2 Maret 2021   21:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat itu bulan Agustus. Aku tidak paham tepatnya kapan, yang ku tahu pasti cuaca agak mendung malam itu. Sebut saja Nila, gadis berambut pendek yang tengah membawa sepeda motor berwarna merah bercampur hitam kilap itu menepi lalu menyunggingkan senyumnya.

"Ayo, langsung saja ya, biar tidak kemalaman" tuturnya.

Aku mengangguk.

Ditanganku sudah ada kue tart berwarna cokelat yang sudah kita beli satu jam sebelum memutuskan untuk menemui Gia, gadis cantik yang tengah berbahagia karena hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Jam sudah menunjukkan pukul enam lewat sepuluh. Berbekal aplikasi penunjuk arah, Nila mulai melajukan motornya sesuai petunjuk yang ada di aplikasi.

Aku masih ingat tentang Gia yang mengatakan bahwa tak sampai setengah jam mengendarai motor melewati hutan dan jalanan perbatasan kecamatan yang sepi, ia sudah sampai di kediaman Nila. Namun bagi kami berdua, inilah pertama kalinya kita mengunjungi kediaman Gia melewati jalanan perbatasan yang ia ceritakan tadi. Terlihat seperti omong kosong namun nyatanya Nila, dan aku tentunya, belum pernah ke rumah Gia yang dengan jarak tempuh setengah jam tersebut bisa di bilang cukup dekat.

Sepuluh menit pertama semuanya masih terasa menyenangkan. Jalanan yang masih ramai, toko-toko pinggir jalan yang belum sepi pengunjung, dan bahkan suara celoteh nyanyian kami berdua di sepanjang jalan.

Sampai akhirnya kita mulai memasuki hutan dan jalanan sepi persis seperti yang  Gia ceritakan. Bedanya, Gia biasa mengunjungi Nila di siang hari.

Sepi, jalanan yang mulai lengang, dan suara gemericik air di sekitaran hutan serta suara jangkrik yang bersautan mulai mendominasi. Namun tampaknya hal itu tidak melunturkan suara nyaring kami untuk terus bernyanyi dan melontarkan guyonan apapun yang sekiranya bisa membuat suasana tak begitu mencekam.

Aku yang tadinya baik-baik saja mendadak diam setelah tidak sengaja mengecek jam tangan. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam namun aplikasi penunjuk arah masih saja menunjukkan arah yang kulihat masih cukup jauh untuk di tempuh.

Nila memelankan lajunya seiring dengan tepukan tanganku tepat di bahunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline