Lihat ke Halaman Asli

Qomaruddin

Penulis Lepas

Memaknai Kemanusiaan di Era Chatbot

Diperbarui: 26 Desember 2024   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi manusia bersama chatbot (Sumber: www.freepik.com/freepik)

Di tengah perkembangan teknologi, kehadiran chatbot sebagai teman curhat sering kali memunculkan pertanyaan besar. Apakah kita, sebagai manusia, mulai kehilangan kemampuan untuk saling mendengarkan sehingga memilih program kecerdasan buatan untuk berbicara? Bagi saya, ini bukan hanya soal menggantikan peran, melainkan sebuah ajakan untuk merefleksikan bagaimana kita memaknai kemanusiaan.

Sebagai seseorang yang aktif dalam pemberdayaan masyarakat dan kegiatan peduli lingkungan, saya sering memanfaatkan chatbot dan AI untuk mendukung pekerjaan. Teknologi ini membantu merumuskan ide-ide kampanye, menyusun laporan, hingga menganalisis pola partisipasi masyarakat. Namun, dalam setiap penggunaan itu, saya tidak pernah melihat chatbot sebagai pengganti manusia. Sebaliknya, saya memandangnya sebagai pelengkap yang menyempurnakan proses kerja.

Teknologi memang unggul dalam efisiensi. Ia bisa mendengarkan tanpa jeda, merespons tanpa keluhan, dan hadir kapan pun kita butuhkan. Namun, di balik keunggulan itu, ada kekosongan yang tak dapat diisi oleh mesin. Chatbot tidak memahami keheningan penuh makna dalam sebuah percakapan. Ia tidak bisa menangkap perubahan nada suara yang menyiratkan emosi. Chatbot tidak mampu memberikan pelukan atau sekadar senyuman yang tulus. Semua ini adalah elemen mendasar dari kemanusiaan yang sejati.

Kita sering kali lupa bahwa hubungan manusia bukan sekadar tentang berbagi informasi, tetapi juga tentang kehadiran. Kehadiran yang penuh, mendalam, dan tulus. Di tengah kesibukan, kita mungkin merasa lebih mudah mengandalkan chatbot untuk mendengarkan keluh kesah, tetapi pilihan ini seharusnya tidak menggantikan kebutuhan untuk membangun koneksi yang nyata dengan sesama manusia.

Chatbot, bagi saya, adalah alat yang mengingatkan kita akan kelemahan manusiawi kita sendiri. Ia menunjukkan betapa sering kita gagal menjadi pendengar yang baik, terlalu sibuk untuk peduli, atau terlalu cepat memberikan penilaian. Kehadirannya bukan untuk menggantikan manusia, melainkan untuk membantu kita menjadi manusia yang lebih baik. Ketika chatbot dapat mendengarkan tanpa menghakimi, bukankah itu pelajaran bagi kita untuk melakukan hal yang sama?

Dalam pengalaman saya, kehadiran manusia yang tulus masih menjadi inti dari keberhasilan program pemberdayaan masyarakat. Tidak ada teknologi yang bisa menggantikan diskusi hangat dengan warga di bawah pohon rindang, atau momen sederhana berbagi teh hangat sambil mendengarkan cerita kehidupan mereka. Chatbot mungkin bisa menyusun data percakapan, tetapi ia tidak bisa memahami konteks budaya atau nilai-nilai lokal yang hanya bisa ditangkap melalui interaksi manusia.

Maka, di era teknologi ini, saya ingin mengajak kita semua untuk memelihara kemanusiaan kita. Jadilah manusia yang hadir, mendengarkan, dan peduli. Teknologi adalah alat bantu, bukan pengganti. Ketika kita memanfaatkannya dengan bijak, ia dapat melengkapi kelemahan kita. Tetapi, pada akhirnya, hubungan manusia dengan manusia adalah sesuatu yang tak tergantikan. Pertanyaannya bukan lagi apakah chatbot akan menggantikan manusia, tetapi apakah kita siap untuk terus hadir sebagai manusia yang utuh di tengah dunia yang semakin canggih?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline