Lihat ke Halaman Asli

Siti Qolby Nayla Fadlillah

Mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah

Gerakan Sosial Nyi Aciah Sebuah Gerakan Wanita Sumedang

Diperbarui: 12 Juni 2023   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam penghujung abad-19 sangat banyak sekali terjadi pergolakan sosial atau pemberontakan yang mengakibatkan atau berdampak pada perubahan sosial suatu daerah tertentu di Nusantara. Pulau jawa merupakan salah satu daerah yang menjadi pusat pergolakan sosial tersebut. Maraknya guncangan sosial dalam rangka mewujudkan perubahan dan menuntut keadilan ini berujung menjadi sebuah pemberontakan.

"Proses peralihan tradisionalitas ke modernitas ditandai oleh goncangan sosial yang silih berganti dan menyerupai pemberontakan." (Sartono Kartodirjo dalam bukunya Pemberontakan Petani Banten 1888).

Gerakan sosial tentunya bukan hanya berlandaskan atas sebuah kepentingan sosial suatu kelompok, tetapi menyeret pada situasi politik pada masa itu. Eksploitasi Kolonial pada abad ke-19 di Nusantara telah menimbulkan sebuah kondisi dimana hal tersebut memunculkan dorongan bagi para rakyat untuk melakukan sebuah pemberontakan atau mereka menuntut akan suatu hal yang tidak sesuai. Dominasi ekonomi, politik, dan budaya yang berlangsung terus menerus telah menimbulkan disorganisasi di  kalangan masyarakat tradisional beserta lembaga- lembaganya. Dalam menghadapi pengaruh penetrasi Barat  yang memiliki kekuatan disinteragtif, masyarakat tradisional mempunyai cara-cara tersendiri.

Sumedang merupakan salah satu daerah atau kawasan yang mana kala itu sekitar tahun 1870-1871 mengalami sebuah pergolakan sosial yang cukup terkenal. Pada masa itu ada sebuah pemberontakan yang sangat ditakuti oleh para kalangan Hindia Belanda. Mereka menganggap pemberontakan tersebut bukan hanya sekedar pemberontakan, tetapi ada misi mistis khusus yang pribumi kala itu miliki. Pemberontakan tersebut bernama "Pemberontakan Nyi Aciah"

Gerakan Nyi Aciah merupakan peristiwa revolusi sosial menuntut pembangunan pesantren dan perbaikan ekonomi Rakyat Sumedang pada zaman kolonial Belanda.  Namun upaya ini dipersulit oleh orang-orang Eropa yang sudah menguasai Sumedang sejak kejayaan VOC pada abad ke-15 masehi. Golongan kulit putih yang hidup di tatar Sunda ini keberatan apabila Sumedang membangun pesantren.  Apalagi tuntutan ini seiring dengan upaya memperbaiki ekonomi rakyat di Sumedang. Pemerintah kolonial khawatir apabila pribumi bisa maju dalam bidang ekonomi, kekuatan mereka akan meningkat dan menikam Belanda dari belakang. 

Adapun pelopor pergerakan ini merupakan seorang wanita pemberani dari Tanah Sunda. Masyarakat Sumedang menamakan Nyi Aciah yang berarti lambang kesucian, pembawa kebenaran, dan sosok yang paling dinantikan.

Latar Belakang Gerakan Nyi Aciah

Menurut Nina Herlina Lubis dalam buku Sejarah Provinsi Jawa Barat:

Jilid 1" (2013) menjadi latar belakang  gerakan Nyi Aciah, karena pemerintah kolonial memandang peristiwa ini sebagai upaya buruk pemberontakan pribumi. Belanda  pernah menuduh Nyi Aciah sebagai pelopor perempuan yang memiliki reputasi buruk di kalangan perempuan Eropa. Stigma negatif perempuan Sumedang yang pemberani  disamakan dengan dukun yang menggunakan ilmu gaib negatif, hal ini tidak terlepas dari pengakuan masyarakat setempat yang percaya bahwa Nyi Aciah adalah orang suci, dapat menyembuhkan penyakit masyarakat, menyembuhkan kerasukan dan mengajarkan sesuatu  yang misterius. Berbeda dengan wanita Eropa yang takut dengan Nyi Aciah dan tidak mau bertemu, penduduk setempat justru sangat menantikan kehadiran  wanita pemberani ini.

Masyarakat adat merasa terbantu dengan kehadiran Nyi Aciah dan meyakini bahwa Nyi Aciah merupakan titisan dari sosok Ratu Adil yang mampu menyelamatkan masyarakat. Itu sebabnya jumlah pengikut Nyi Aciah semakin hari semakin bertambah. Hampir semuanya berasal dari Sumedang. Namun, ada juga pendatang dari kawasan Priangan Timur, antara lain Ciamis dan Soekapura (Tasikmalaya). Seiring bertambahnya pengikut Ratu Adil dari Sumedang, Nyi Aciah menginginkan adanya revolusi melalui pembangunan infrastruktur keagamaan, seperti pendirian peternakan. Tempat ini dirancang khusus untuk mencerahkan pengikut Anda. Ketika Belanda mengetahui hal ini, mereka langsung marah.

Mereka yang sudah menduga pergerakan Nyi Aciah akan sampai sebesar itu dikhawatirkan akan membahayakan kedaulatannya di Sumedang. Sejak itu, koloni mulai menyiapkan skenario untuk menghentikan gerakan ini dengan benar. Berdasarkan Surat  Residen Priangan tanggal 20 Januari 1871 dan Berita Acara Lisan tanggal 30 Januari 1873 Nomor 33, diketahui  nama asli Nyi Aciah adalah Dewi Siti Johar Manikam. Dia tidak dianggap sebagai keturunan makhluk biasa, melainkan  keturunan atau putri Jumadilkubra, karena dia memiliki kesaktian meski baru berusia sekitar empat atau lima tahun. Berkat kesaktiannya, Nyi Aciah didatangi banyak  orang yang ingin mengobatinya. Nyi Aciah mampu menyembuhkan banyak golongan sehingga mendapat banyak anugerah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline