Lihat ke Halaman Asli

Cinta di Balik Kain Kafan

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi yang sangat cerah. Kicauan burung bernyanyi merdu. Hembusan angin menerpa wajah dengan penuh kelembutan. Cahaya matahari menembus bilik-bilik rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Membangunkan para petani yang masih tertidur untuk pergi kesawah. Kembali bekerja. Setelah semalaman tertidur pulas ditemani mimpi indahnya.

Desa yang sangat indah. Desa yang masih alami. Desa yang masih hijau. Desa yang syarat dengan ketenangan alam. Penuh dengan sejuknya aroma dedaunan. Ramai dengan ocehan penduduk dipagi hari yang akan berangkat bertani.

Disaksikan dalam setiap rumah. Kaum ibu sibuk menyiapkan sarapan buat keluarga mereka. Buat sang anak untuk berangkat sekolah. Buat suami untuk bekal bekerja mencari nafkah. Buat dirinya sendiri sebagai penjaga amanah dirumah.

Sarapan usai, mereka kaum perempuan bergegas berdiri menghantarkan suami dan anak-anak mereka kedepan pintu rumah. Tempat yang menjadi perpisahan sementara mereka. Dipisahkan dengan kesibukan sebagai manusia. Hal yang sudah biasa dilakukan dalam masyarakat yang sangat memperhatikan pentingnya keharmonisan keluarga. Tak terkecuali dengan Halimah. Seusai sarapan dengan menu tahu-kerupuk-dan telor. Dia yang pagi itu nampak anggun dengan balutan gaun busana muslim penuh, menghantarkan suaminya si Salim dan anak semata wayangnya Fitri kedepan pintu rumah mereka. Sambil menyalami tangan suaminya dengan penuh keta-wadu’-an, dia menghembuskan do’a-do’a harapan semoga tuhan selalu memberi keberkahan dan ketabahan.

Fitri bergegas berlari mengahampiri teman-temannya yang sedari tadi memanggil-manggil namanya. Salim berpamitan kepada Halimah. Tak lupa kecupan hangat Salim menghampiri kening halus Halimah. Salim bergegas pergi. Dengan cangkul tuanya, dia siap bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Tak henti-hentinya Halimah memandang sosok yang sangat dia cintai itu. Sosok yang bersenjatakan cangkul untuk berjuang. Namun dimata Halimah dia seperti sosok pahlawan yang bersenjatakan pedang kehormatan. Bermahkotakan cinta. Memimpin kerajaan kasihsayang dalam keluarganya.

Salim dan  Halimah dikenal masyarakat sekitarnya sebagai pasangan yang harmonis. Pasangan yang penuh cinta. Ramah dengan orang-orang disekitarnya. Pasangan yang tidak pernah terdengar berita pertengkarannya. Meskipun mereka termasuk kedalam golongan orang kurang mampu, namun mereka tak pernah mengeluh. Salim yang hanya bekerja sebagai petani di tanah milik orang ini, tak merasa iri hati dengan orang-orang disekitarnya yang hidupnya lebih dari dia. “Legowo” itu kata yang sering terucap dari mulutnya kala hasil kerjanya tidak mendapatkan hasil yang memuaskan.

Beruntunglah salim mempunyai istri Halimah. Istri yang selalu mencintainya dengan sepenuh hati. Istri yang selalu menerima apa yang diberikan salim. Istri yang tidak pernah mengeluh. Walau nafkah tidak banyak, tapi dia selalu menerima dengan ihlas. Yang paling penting dalam fikirannya adalah bisa mencintai keluarganya sepenuhnya. Kapan pun, dalam kondisi apapun.

Halimah bergegas masuk kembali kedalam rumah kayunya yang sudah mulai usang dimakan usia. Rumah warisan keluarga orang tua Salim itu, menjadi saksi cinta suci mereka.

Halimah meneruskan pekerjaan rumahnya. Mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya. Mulai dari membersihkan rumah, mencuci, menyapu dan yang paling penting adalah dia selalu menjaga martabatnya sebagai perempuan. Terutama sebagai seorang istri dari suami yang sangat dia cintai.

Pagi hilang, siangpun datang. Melepas kepenatan seusai melakukan pekerjaannya. Halimah teringat akan sesuatu yang sangat membahagiakan hatinya. Sesuatu yang sudah lama dia inginkan. Sesuatu yang sangat berharga baginya. Sesuatu yang bernilai cinta walau tak seberapa. Tanpa berpikir panjang, Dia menuju kamarnya, membuka daun pintu lemarinya yang berderek ketika ditarik. Dia meraba-raba kedalam baju yang ditata rapi sehabis dicuci. Dia mencari sesuatu yang berharga itu. Wajahnya mulai sumringah ketika menemukan barang yang dia cari. “ini dia” ujarnya ketika menemukan kalung yang baru tadi malam diberikan oleh Salim kepadanya. Sebuah kalung emas yang bermutiarakan cinta salim. Memang tak seberapa. Tapi bukan nilai kalungnya bagi halimah, tapi cinta salimlah yang membuat apa yang selalu diberikan kepadanya menjadi indah.

Halimah memandangi kalung pemberian suaminya. Dengan mata berbinar kebahagiaan, dia memegang kalung itu erat-erat, seerat cintanya dengan Salim. Dia tak sabar menunggu salim pulang, memasangkan kalung pemberiannya ke leher Halimah. Salim berjanji kalau malam nanti dia akan memasangkan kalung itu di leher lembut Halimah, sembari mengulang keindahan cinta  saat pertama kali mereka bertemu sesusai janji ikatan cinta.

Asik bernostalgia dengan pemberian suaminya. Halimah tidak sadar kalau diluar sedang hujan. Suara petir yang menyambar-nyambar mengagetkan halimah. Sambil memegang kalung pemberian Salim, dia bergegas kaluar mengambil pakaian yang dia jemur pagi tadi.

la haula wa la quwwata illa billah” mulut Halimah komat-kamit ketika sesekali terdengar suara petir yang sangat keras mendentum ditelinganya. Hujan kala itu sangat deras, disertai angin kencang yang sesekali seperti ingin menerbangkan rumahnya. Tak ada sesuatu yang menghawatirkan Halimah kecuali karena Salim belum pulang. Fitri sehabis pulang sekolah langsung ikut neneknya.

Hujan tak kunjung reda. Halimah tidak sabar ingin melihat suaminya pulang. Dia sesekali mengintip keluar memastikan kedatangan Halim, tapi kencangnya hujan yang disertai angin menghalangi pandangan matanya. Yang dia inginkan kali ini hanya satu, yaitu menginginkan suaminya cepat pulang.

“tok..tok..tok... pintu rumah halimah berbunyi. Pertanda ada orang datang. Halimah langsung bergegas membuka pintu, mengharap suaminya yang datang. Hatinya senang karena pendekar cintanya telah datang. Dia tak sabar memegang gagang pintu, mebukakan pintu rumahnya untuk sang suami. “Kreeek” pintu terbuka. Sesosok orang berpayung berdiri dihadapnnya. “Mbo’ nah” kata Halimah menyapa perempuan tua, berpakaian kebaya lusuh bernama Aminah. Hati halimah mulai kecewa karena yang datang bukan suaminya.

“Iya mah” saut mbo’nah.

“Tumben mbo’nah hujan-hujan gini kerumah, ada apa?” Tanya Halimah penasaran.

“anu mah” dengan terbata-bata Mbo’nah mengabarkan sesuatu kepada Halimah. Kabar yang seketika membuat wajah Halimah pucat. Matanya yang putih bening berubah menjadi merah keruh bercampur butir-butir bening dari pelupuk matanya.

Halimah langsung bergegas lari keluar kehalaman rumahnya. Diikuti oleh mbo’nah yang berlari lebih pelan karena tenaganya yang sudah tua. Halimah lari seakan mengejar sesuatu yang kabur dari rumah. Lari menuju persawahan ditempat suaminya bekerja. Dari kejauhan dia melihat segerombolan orang menuju kearahnya. Mereka menggotong laki-laki yang sudah tak tampak senyumnya. Dia adalah Salim. Laki-laki yang telah ditunggu kedatangannya, kini benar-benar datang. Tapi kedatangannya membawa duka. Duka yang pastinya sangat melukai hati Halimah dan anaknya.

Dia telah tiada. Salim meninggal karena pohon tumbang yang menimpa tubuhnya ketika hujan tadi. Meninggal ketika sedang berjuang mecari nafkah. Meninggal dengan jaminan surga dihadapannya.

Halimah hanya tertunduk sedih. Mengingat kecupan halim dipagi tadi, yang tak dia sangka menjadi kecupan terahirnya. Mengingat pemberian terahir Salim yang sangat berarti, yang tak dia sangka menjadi kenang-kenangan terahir darinya. Sambil mengucap “tashbih” dan “Istighfar” dia meneteskan bulir-bulir kesedihan, pertanda betapa terpukulnya dia.

“Sabar ya lim” ucap wati saudara sepupu Halimah. Dia hanya mengangguk. Tak henti-hentinya dia membaca “Istighfar”. Dia sadar kalau setiap jiwa pasti akan mati. Dia tahu jika ajal telah tiba, maka tidak ada yang sanggup menghindarinya. Tapi walau demikian raut kesedihan tetap nampak dari wajah cantik Halimah.

Bukan karena apa, tapi karena kesetiaan Salim. Cinta Salim. Kasih sayang Salim. Dan kesalehan Salim.

Salim langsung dimandikan dan segera dikafani. Menunggu salim selesai dikafani. Halimah masuk kedalam kamar. Memandangi kalung pemberian terahir Salim. Dengan air mata mengalir deras, Halimah berdo’a dengan lirih

“Ya rabb, ya rahman ya Rahim. Hamba tahu engkau maha pengasih, hamba tahu engkau maha segalanya. Engkau maha pemberi cinta. Termasuk cinta hamba terhadap suami hamba ya rabb. Suami yang dengan tulus mencintai hamba ya rabb. Suami yang penuh kasih sayang membimbing hamba. Suami yang berjuang untuk kebahagiaan hamba.

Hamba bersyukur ya rabb engkau telah memberi hamba imam yang salih dalam keluarga hamba. Engkau yang memberi ya rabb. Adakalanya pemberianmu engkau ambil kembali. Termasuk pahlawan cinta yang telah engkau berikan kepada hamba ya rabb. Kini engkau telah mengambilnya. Kini dia harus kembali kepadamu ya rabb.

Hamba tidak bisa apa-apa kecuali hanya berdo’a. Kecuali hanya tangis yang keluar dari tenggorokan hamba yang mulai kering.

Engkau maha pemberi segalanya ya rabb. Berilah hamba ketabahan. Ketabahan dalam mengahadapi segala coba’an.

Mata Halimah tak berhenti mengalirkan butir kepiluan. Dia memandangi seluruh ruangan kamarnya. Ruangan yang dijanjikan Salim akan dijadikan saksi pemasangan kalung pemberian Salim dileher Halimah. Semua hanya tinggal harapan.

Halimah segera keluar kamar. Menghampiri laki-laki yang telah tebujur kaku dibalut putihnya kain kafan. Semua tertutup kecuali wajahnya. Halimah diberi kesempatan untuk melihat wajah suaminya untuk terahir kalinya. Terlihat wajah Salim meninggal dengan tersenyum. Seperti menggambarkan senyum perpisahan yang biasa dia persembahkannya buat sang istri setiap hendak pergi bekerja. Senyum ini yang terahir kalinya. Perpisahan untuk selamanya. Yang akan dia hadirkan kembali ketika disorga.

Halimah memandang Salim dengan seksama. Meyakinkan hatinya kalau dibalik sedihnya bungkusan kafan, terdapat cinta. Cinta yang selalu melekat dalam diri Salim. Cinta yang selalu dibawanya. Cinta yang kali ini terbungkus, seiring terbungkusnya jasad Salim. Yang akan Halimah kubur dalam-dalam didalam lahat hatinya. Kini halim menyimpan cintanya dibalik kain kafan yang membungkusnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline