Oleh : Qoimatun Nisa'
[caption caption="Menjelang fajar, para warga berduyun-duyun memburu nyale"][/caption]Berbicara mengenai filosofi pasti yang terngiang adalah bagaimana dalamnya kita berfikir tehadap materi yang kita kaji, kali ini yang akan dibahas adalah tentang filosofi dari tradisi bau nyale yang dilaksanakan masyarakat suku sasak. Dari asal kata Bau nyale terdiri dari dua kata yakni bau yang artinya mengambil dan nyale yakni hewan laut yang menyerupai cacing warna-warni. Bau nyale sendiri merupakan tradisi tahunan yang diselenggarakan setiap dua kali dalam setahun dipantai bagian selatan Lombok seperti pantai kaliantan, sungkin dikecamata jerowaru Lombok timur, dan panatai dikawasan Lombok tengah seperti Pantai Seger dan Pantai Kuta, dan pantai wilayah selatan Lombok sekitarnya.
Menurut isi babad, Sebelum abad ke-XVI Tradisi bau nyale telah dikenal oleh masyarakat suku sasak. Secara etimologi Bau nyale berasal dari bahasa sasak, terdiri dari dua kata yakni bau yang artinya menangkap dan nyale artinya hewan laut yag mirip seperti cacing tanah yang berbentuk warna-warni. Menurut ahli biologi Cacing nyale adalah hewan yang termasuk kedalam golongan Filium Annelida yang hidup didalam lubang-lubang batu karang bawah permukaan laut, yang juga memiliki kaki berbentuk bintik-bintik.Tradisi bau nyale ini dilakukan secara turun temurun dalam masyarakat suku sasak, banyak masyarakat sasak meyakini bahwa dengan menangkap nyale yang banyak di maknai dengan hasil panen yang akan melimpah. Makna dibalik tradisi ini sendiri yakni menginginkan turunnya hujan, dan ketika memakan nyale banyak masyarakat mempercayai akan mendapat kesembuhan, keberkahan hidup dsb. [1]
Nyale sebagai sebuah tradisi didalam masyarakat Lombok memiliki akar sejarah yang sangat unik untuk kita ikuti, didalam kisahnya kepercayaan tentang asal muasal munculnya nyale yang selalu dimainkan menjadi drama kolosal pertujukkan sebelum ritual bau nyale diselenggerakan tepatnya didalam festival bau nyale yang kemarin diadakan di Pantai Seger Lombok Tengah pada 28-29 Februari kemarin.
Secara Legenda Cerita tentang asal muasal bau nyale seing dicerita seperti ini, Konon disebuah kerajaan lahirlah puteri yang cantik jelita bernama putri mandalika dari raja yang adil nan bijaksana yang dicintai banyak rakyatnya, karena kecantikannya itu banyak pangeran-pangeran kerajaan ingin mempersunting puteri Mandalika.
Berbagai macam cara dilakukan pangeran-pangeran untuk merebut hati sang puteri hingga memicu peperangan antar kerajaan di bumi sasak. Hingga sampai disuatu saat putri Mandalika mempertemukan para pangeran-pangeran ini di pinggir pantai laut selatan pulau Lombok . singkat cerita menjelang waktu subuh, puteri Mandalika menceburkan dirinya kepinggir pantai hingga menjelma menjadi cacing warna-warni yang disebut dengan nyale. Dengan Maksud menghindari pertengkaran antar kerajaan puteri mandalika rela menceburkan dirinya.
Berbicara mengenai apa makna filosofi dari legenda Puteri Mandalika yang terjun ke laut dan berubah atau menjelma menjadi nyale dapat kita petik berdasarkan nilai-nilai didalam masyarakat sebagai berikut.
Nilai pertama yakni sikap rela berkorban, dalam filosofinya putri mandalika rela berkorban demi rakyat bumi sasak untuk menghindari peperangan yang akan terjadi pada para pangeran yang memperebutkannya. Jadi, untuk menjadi seorang pemimpin seseorang haruslah lebih peduli terhadap rakyatnya dan paling penting lagi harus rela berkorban untuk kepentingan banyak orang terutama rakyatnya. Sikap rela berkorban inilah yang harus ada pada setiap pemimpin yang akan menjadi tauladan bagi para rakyatnya.
Nilai filosofi kedua yakni terdapat juga bau nyale sebagai even pesta ekonomi bagi semua orang atau siapa saja yang bisa ikut didalamnya. Ini artinya tidak boleh siapapun orang berhak memprivatisasi even ini untuk kepentingan individu maupun golongan. Hal ini juga di percaya sebagai rahmat dari Tuhan yang maha Esa yang bisa dinikmati oleh setiap orang. Maha kuasa Tuhan atas segala penciptaannya. Percaya atau tidak ritual yang diadakan setiap di adakannya ritual sebelum bau nyale diselenggarakan sarat dengan makna filosofi yang menjunjung nilai-nilai ketuhanan, namun masih selalu ada bentuk penyimpangan yang terjadi dimasyarakat misalnya ketika ingin bau nyale masih ada orang yang percaya dengan berkata-kata kotor maka akan mendapatkan banyak nyale, ini merupakan salah satu bentuk penyimpangan yang terjadi yang seharusnya diedukasi sebagai salah satu hal negatif pada saat event bau nyale ini. [2]