Lihat ke Halaman Asli

qoem ahmad

amatir documentary

Puisi | Pagi

Diperbarui: 12 Desember 2017   10:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mari kuarak tubuhmu berkeliling alun alun kota lalu menuju bukit yang jalurnya terjal, penuh bebatuan karang, tanahnya tandus, yang sebiji bunga kaktus pun enggan menghiasi lerengnya. Dengan kayu salib.

Mengarak tubuhmu tanpa busana, tanpa sehelai kain, menyentuh halus lembut kulitmu adalah sensasi, seperti orgasme warga kampung cikupa yang menelanjangi perempuan yang histeris di rumah kayu.

Pada surya yang menyinari bukit, bebaskan tungkaimu dari dekil debu kesiasiaan dan dahimu dari kerut beban nasib kefanaan. 

Berbaringlah di bawah awan, di sela sela karang yang tajam, mari menanti terpa angin menuntun birahi menghangatkan zakar purba dengan alunan sederhana memasuki aib terdalam, hingga nikmat membunuh setiap sangsi waktu dan membakar segala sesal masa lalu. 

Lalu biarkan dewa api mendendang menari, menjentikkan jutaan kilo bara panas menyelubungi dunia profan, hingga klimaks tandas tak bersisa.

Pagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline