Lihat ke Halaman Asli

qoem ahmad

amatir documentary

[PUISI] Jumawa

Diperbarui: 21 Oktober 2016   18:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sore tadi aku mati dan lalu bangkit lagi setelah cahaya senja menutupi kilau lembayung. Bayangnya menerkam iring iringan burung gereja yang melintas menuju peraduan. Patuknya menakar serbuan lirikan mata nakal para penjilat rembesan air jamban yang mengalir pada ruas sempit got got kota. Mendera warga sipil dengan bising bau mulutnya berbuah cacing lumut menjijikkan.

Seorang wanita setengah usia bergerak melintas dengan kecepatan siput mengejar bayangan monyet yang sedang menodongkan senjata revolver pada dahi seorang filsuf. Lajunya selambat roda sepeda yang memuat kardus berisi lusinan orok bayi yang siap disembelih, dicacah, digiling, dibentuk menjadi pentol bakso. 

Dari darahnya yang merembes menyesap terdengar adu ceracau kicau dan erangan bocah bocah belasan yang merintih di ruang sidang. Sebagai tasbih zikir pujian kepada para tetua yang sedang hikmat mendengar jamuan beribu ribu bait sastra yang terhidang   di meja restoran. Demi menguburkan isu yang dibawa petir dari suara sangkakala yang bersahut sahut di corong mesjid.

Drama mengucur di kotak kubus televisi, bersiul mendendangkan irama dangdut menyibak rintih buai orgasme gedung gedung pencakar langit dari senggama mega mega putih penghias fatamorgana membuahi efek plasebo. 

Suara gendangnya mengundang birahi kepulan asap tembakau yang terkurung pada paru paru remaja menyambut lezatnya goyangan pinggul biduanita yang kesetrum parfum Nyi Roro dari Kidul.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline