17 Februari lalu debat kandidat calon presiden telah berhasil diselenggarakan. Ini merupakan debat kedua dari 5 buah rangkaian debat kandidat menjelang presidential election 2019.
Penghargaan patut kita berikan kepada KPU atas kesediaannya menerima kritik dan masukan dari berbagai spektrum masyarakat terkait perubahan metode pada debat kedua tersebut.
Meskipun masih jauh dari ekspektasi debat ideal, namun progress ini selayaknya kita apresiasi. Menurut hemat saya, debat kedua jauh lebih baik dibandingkan dengan debat pertama bulan januari lalu.
Sebagai warga negara yang telah menjatuhkan pilihan pada salah satu pasangan capres, sebenarnya debat ini tidak terlalu esensial bagi saya. Gently speaking, apapun hasil pada debat tersebut tidak akan mengubah preferensi sama sekali. Empat tahun setengah pemerintahan berjalan sudah lebih dari cukup bagi saya untuk membuat sebuah electoral preference.
Namun tak bisa dipungkiri bahwa debat kandidat sangat berpengaruh terhadap elektabilitas kandidat, utamanya bagi swing voter yang menurut berbagai survey, persentasenya masih sangat besar. Tentu ini menjadi sebuah potongan puzzle yang harus diperebutkan dengan segenap daya upaya oleh kedua kandidat capres
Mengusung tema Energi, Pangan, Infrastruktur, Sumber Daya Alam dan Lingkungan hidup, di atas kertas chance kedua kandidat bisa dikatakan seimbang. Capres no urut 1, Joko Widodo memang menjadikan subtema infrastruktur sebagai senjata pamungkas dalam kampanyenya. Pun demikian dengan energi. Meskipun kita bisa berdebat panjang tentang beberapa kelemahan dalam implementasi kebijakan pada kedua hal tersebut, namun fakta tentang kontribusi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur sama sekali tidak dapat ditepikan.
Di sisi lain subtema pangan, SDA, dan Lingkungan hidup merupakan ruang yang sangat besar bagi pasangan calon nomor 2 untuk melakukan kritik. Tidak selarasnya program Swasembada Pangan dengan public policy impor gila-gilaan pemerintah, tentu menjadi sasaran empuk untuk diangkat kepermukaan.
Berkaca pada debat pertama, Jokowi terkesan sebagai seorang text dependent. Dari sesi visi misi hingga pernyataan penutup, bola matanya tak bisa terlepas lebih dari 10 detik dari catatan yang dibawanya. Hal ini diperkuat dengan jejak digital Jokowi yang seringkali memiliki keterbatasan dalam menjawab pertanyaan wartawan terkait beberapa issue. Jokowi seolah miskin perbendaharaan kata dan memiliki kemampuan retorika yang kurang baik.
Sementara Prabowo Subianto, sama sekali tidak membawa catatan pada debat pertama, sekalipun kisi-kisi pertanyaan sudah disosialisasikan kepada kedua tim pemenangan jauh sebelum debat berlangsung. Ditambah lagi, masih hangat dalam ingatan kita saat Prabowo menyampaikan orasi kebangsaan di hadapan Badan Pemenangan Nasional selama hampir dua jam. Tanpa jeda, tanpa teks, tanpa earphone. Fakta ini menimbulkan keyakinan para pendukung Capres no urut 2 bahwa Prabowo akan memenangkan debat ini dengan mudah. The war is already won, even before it getting started.
Namun seiring debat berlangsung, yang terjadi justru sebaliknya. Dari sesi awal hingga penutup, Joko Widodo tampil bak seorang yang baru mengalami reinkarnasi. Tidak ada text, tidak banyak hening yang terjadi lebih lama dari seharusnya, tidak ada raut wajah tegang, tidak ada kata 'anu' yang biasanya diucapkan manakala beliau berusaha mencari kata yang tepat untuk menterjemahkan pikiran-pikirannya. Pun pada sesi pertanyaan, jawabannya tegas, lugas, dan meyakinkan. Ini adalah sebuah anomali. Anomali Jokowi.
On the other side, Prabowo Subianto, yang selama ini diasosiasikan dengan ketegasan, orator ulung, justru tampak miskin data dan kurang menguasai tema. Waktu menjawab lebih banyak dihabiskan untuk menggumam 'eee' yang berulang-ulang.