Lihat ke Halaman Asli

Feminisme Sebagai Penawar Epidemi Sosial Patriarki

Diperbarui: 13 Juni 2024   11:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ghttps://pin.it/3nKWlBDzrambar

Kuat sudah menjadi syarat utama dalam masyarakat untuk memilih seorang pemimpin. Sifat kuat tersebut tercermin dari maskulinitas yang menjadi elemen terbesar dari seorang laki-laki. Sejak zaman dahulu laki-laki memang sudah memegang kekuasaan utama dalam bermasyarakat, seperti ekonomi, sosial, dan dalam bidang politik. Hal tersebut berlaku juga dalam skala kecil seperti keluarga. Ayah sebagai pemegang kendali dari istri dan anak-anaknya. Tidak sedikit juga derajat anak perempuan lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki di mata sang ayah.

Perbedaan derajat perempuan dan laki-laki sudah lama terjadi, bahkan pada saat zaman Nabi Muhammad SAW sang sahabat Umar Bin Khattab mengubur hidup-hidup anak perempuannya tepat setelah ia lahir. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan pada masyarakat Suku Quraisy untuk mengubur hidup-hidup anak perempuan. Kebiasaan itu didasari oleh stereotip bahwa anak perempuan adalah sebuah beban bagi keluarga karena tidak bisa melakukan aktivitas berat dan pergi berperang.

Pada zaman sekarang juga masih banyak kasus dimana perempuan mendapatkan diskriminasi hanya karena ia seorang perempuan. Ketika pembagian tugas rumah seperti menyapu, mengepel, memasak, dan mencuci baju terkadang anak laki-laki dikecualikan dari tugas rumah. Aktivitas membersihkan rumah dianggap sebagai kegiatan feminine yang hanya boleh dilakukan oleh perempuan. Ketika menikah juga banyak perempuan yang memiliki lebih banyak pekerjaan dibandingkan dengan laki-laki. Ketika perempuan memilih untuk terus bekerja, aktivitas membersihkan rumah menjadi pekerjaan tambahan bagi perempuan.

Stereotip beres-beres rumah adalah pekerjaan perempuan masih diterapkan pada masyarakat 5.0 sekarang. Pandangan tersebut diturunkan dari kakek dan nenek mereka terdahulu hingga terpatri dengan jelas pada pola pemikiran sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidak hanya laki-laki yang menerapkan sistem sosial patriarki tetapi perempuan juga tanpa sadar mengelompokan pekerjaan perempuan dan pekerjaan laki-laki. Seperti ketika seorang ibu menugaskan anak perempuannya untuk membersihkan rumah dan menjamu anak laki-lakinya bagaikan raja dan tidak dibiarkan untuk melakukan aktivitas membersihkan rumah.

Akibat dari sistem sosial patriarki tersebut, banyak hak-hak perempuan yang terampas. Feminisme mencoba untuk mendapatkan kembali hak-hak yang telah hilang tersebut. Gerakan ini memperjuangkan kesetaraan hak pada kedua gender. Sejak abad ke-18 gerakan feminisme dimulai dengan niat memperjuangkan hak-hak yang sama yang didapatkan oleh pria seperti hak untuk memilih, hak pekerjaan, hak ekonomi, hak dalam politik dan lainnya. Gerakan ini berupaya untuk mengubah masyarakat yang bersikap tidak adil pada perempuan. Walaupun feminisme berfokus kepada hak-hak perempuan, aktifitas ini juga memperjuangkan pembebasan laki-laki dari stereotip peran tradisional mereka. Oleh karena itu feminisme sendiri adalah gerakan dimana memperjuangkan kesetaraan hak yang bisa didapat baik oleh perempuan maupun laki-laki.

Gerakan feminisme yang paling terkenal yang di Indonesia adalah ketika Raden Ajeng Kartini mengkritik sistem pendidikan di tanah Jawa tentang perempuan yang tidak boleh mengenyam pendidikan yang sama dengan laki-laki. Akibat gerakan tersebut perempuan bisa menempuh pendidikan setinggi mungkin. Patriarki dalam masyarakat yang menyebabkan ketidakadilan dan dominasi terhadap pihak perempuan. Maka dari itu feminisme menjadi gerakan yang mengubah sistem sosial patriarki agar sistem sosial memberikan perlakuan yang sama bagi kedua gender. Gerakan feminisme ini adalah bukti dari upaya untuk hidup pihak yang merasakan ketidakadilan.

Dengan pesatnya kemajuan teknologi dan media massa, gerakan feminisme tidak harus dilakukan dengan aksi unjuk rasa, tetapi bisa juga dengan membuat konten yang bisa menggapai banyak audience untuk menyebarkan paham keadilan ini. Semakin banyak masyarakat yang peduli dengan topic ini maka makin sedikit juga pihak yang akan mendapatkan diskriminasi gender.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline