Lihat ke Halaman Asli

QHASDINNA ALFIYANNI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

Body Shamming dan Netiquette di Ranah Digital

Diperbarui: 14 Desember 2023   20:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Gelora digitalisasi semakin progresif, masyarakat modern kini mulai beralih membangun kehidupan virtual melalui media sosial. Media sosial menjadi ruang interaksi baru yang melintasi batas-batas kehidupan di dunia nyata. Seiring dengan transformasi tersebut, paradigma tentang citra tubuh telah mengalami perubahan yang signifikan. Penetrasi internet oleh kemajuan teknologi membawa pengaruh mendalam terhadap konsepsi kecantikan, norma tubuh ideal, serta ekspektasi sosial khususnya terhadap wanita. Tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga di ranah virtual, fenomena penghinaan citra tubuh atau yang lebih dikenal sebagai body shaming semakin marak terjadi. Media sosial berwujud platform daring telah memfasilitasi terjadinya perilaku yang menghakimi terhadap penampilan fisik seseorang secara lebih luas dan intensif.

Tiktok, salah satu platform sosial berbasis daring yang sedang mendunia dan digandrungi oleh masyarakat dari berbagai kalangan generasi. Tercatat melalui laporan firma riset Statista, Indonesia menjadi negara dengan pengguna Tiktok terbesar kedua di dunia dengan jumlah pengguna TikTok sebanyak 113 juta per April 2023. Tiktok memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi melalui video berdurasi singkat yang difasilitasi dengan fitur kolom komentar. Pengukuhan sistem algoritma yang dimiliki oleh Tiktok menyederhanakan alur persebaran dan pengelompokan konten yang ada, sehingga tiap-tiap jenis konten akan dengan mudah mendapatkan audiensnya tersendiri. Dengan kesederhanaan aksesibilitas tersebut, platform ini memberikan kebebasan bagi siapapun untuk berkreasi sebagai seorang kreator konten.

Semakin banyak kreator konten yang berkarya, semakin beragam pula lingkup audiens yang dimiliki. Kembali menyinggung fenomena yang menjadi topik pembahasan kali ini, penghinaan citra tubuh (body shaming) kerap ditemukan di Tiktok. Dalam suatu kasus, seorang kreator wanita dengan nama pengguna @juliarimbaa seringkali mendapatkan komentar tidak mengenakkan di setiap konten video yang ia unggah. Alasan utamanya karena ia adalah seorang wanita berkulit gelap. Julia merupakan seorang kreator yang banyak menyebarkan konten positif untuk meningkatkan kepercayaan diri seorang wanita. Dalam salah satu konten yang diunggah, seseorang dengan nama pengguna @panduganesa98 melontarkan komentar yang menyinggung penampilan Julia secara tersirat, yang berbunyi "Minimal mandi mbak, terus pake bedak ya." Pada konten lainnya, seseorang dengan nama pengguna @abiii2367 secara terang-terangan menyinggung warna kulit Julia dengan tuturan "Gak usah nasihatin orang deh! Suntik putih aja supaya gak kontras sama suaminya." Jenis komentar seperti ini kerap kali didapatkan Julia, terlepas dari apa pun jenis konten yang ia sajikan. Mengacu pada kasus tersebut, penghinaan citra tubuh atau body shaming dapat disimpulkan sebagai suatu kekerasan dalam bentuk verba-emosional ketika pelaku memberikan kritik atau komentar yang merendahkan dan menghakimi korban secara fisik dan penampilannya.

Di sisi lain, masih berada di ranah virtual, terdapat dua kasus penghinaan citra tubuh yang keduanya hampir serupa. Seorang influencer dalam bidang kecantikan dengan nama pengguna @dosenkecantikan kerap kali mendapatkan komentar body shaming. Pada salah satu kontennya yang membahas mengenai mispersepsi lelaki mengenai biaya hidup wanita, wanita yang akrab disapa dengan panggilan Bu Dosen ini mendapatkan komentar bersifat merendahkan dari pengguna akun dengan Evan's sebagai display name, "Laki-laki juga mikir, masa keluar 1 miliar dapetnya truk kontainer." Kemudian, kasus serupa lainnya terjadi kepada seorang kreator konten dengan nama pengguna @yasminjml. Yasmin dalam salah satu kontennya berupaya untuk menyuarakan opininya terkait finansial sebelum menikah, sampai ia mendapatkan komentar melalui pengguna akun @cleofoo, yang bunyinya "Kalau disuruh nafkahi 20 juta, saya cari yang lebih cantik deh kayaknya." Mengamati lebih lanjut tiap-tiap kasus, keduanya memiliki satu poin keterhubungan, yakni keselarasan faktor pemicu terjadinya fenomena penghinaan citra tubuh. Keduanya, baik Bu Dosen dan Yasmin, sama-sama menyuarakan pendapat serupa mengenai aspek finansial melalui sudut pandang seorang wanita. Hal inilah yang menimbulkan pelaku melontarkan kalimat jahat yang cenderung menyerang fisik dari para kreator wanita tersebut.

Berdasarkan kasus-kasus yang sudah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa penghinaan citra tubuh tidak hanya terjadi semata-mata karena fisik dari korban. Dalam berbagai kasus berbeda, pelaku melakukan penghinaan citra tubuh kepada korban sebagai responsi kontra terhadap suatu hal. Dalam hal ini, terdapat ketaktersesuaian terhadap pola pikir pelaku dan korban. Hal ini juga mendapat dukungan melalui perspektif psikologi yang menjelaskan bahwa penyebab seseorang dapat melontarkan ujaran kebencian, salah satunya berupa penghinaan citra tubuh, terbagi ke dalam beberapa faktor. Salah satu faktor utamanya datang melalui pribadi pelaku itu sendiri, biasanya dimulai dari perasaan iri dan kebutuhan untuk selalu diperhatikan. Pernyataan ini dinyatakan sesuai dengan data yang telah ditemukan. Dengan ini, kasus-kasus penghinaan citra tubuh yang telah dipaparkan pun dapat dikelompokkan sesuai dengan pernyataan Erdiyanto dalam jurnalnya, Hate Speech Triggers Young Generation Intolerant and Discriminatory. Pada kasus @juliarimbaa dan @dosenkecantikan, bentuk penghinaan citra tubuh yang terjadi digolongkan ke dalam bentuk difemisme, sebuah ekspresi dengan konotasi menyinggung satu individu maupun kelompok yang biasanya mengandung kata SARA. Kemudian pada kasus @yasminjml, pelaku cenderung memperhalus bahasa yang dipakai sehingga peristiwa ini termasuk ke dalam bentuk eufimisme, sebuah upaya memperhalus bahasa atau dapat juga dikategorikan sebagai bentuk penghinaan secara tidak langsung.

Lantas, bagaimana cara korban menanggapi fenomena tersebut? Terdapat hal menarik yang membuat ketiga kreator tertera yang kasusnya dijadikan sebagai kelompok data berkelindan satu dengan yang lainnya, yakni responsi kritis mereka terhadap penghinaan citra tubuh yang mereka alami. Melalui sebuah video yang diunggah, @juliarimbaa merespon penghinaan yang dilakukan oleh @panduganesa98 dengan kata-kata sindiran yang penuh percaya diri. Sambil tertawa, ia berkata, "Duh gak kuat ya. Udah gak punya uang, suka menghujat wanita. Harusnya jangan pakai muncul, jangan pakai ngetik-ngetik ya, malu-maluin diri sendiri." Ia juga merespon @abiii2367 dalam video yang berbeda, masih dengan kepercayaan diri yang sama namun kata-katanya yang lebih hangat, "Halo, Abi. Aku udah bilang berkali-kali, suami aku mau menikahi aku karena kulit hitamku ini. Memang kita kontras, tapi disitulah keindahannya. Semoga hati kamu dibersihkan."

Respons serupa juga dilakukan oleh @dosenkecantikan yang membalas komentar Evan dengan penuh rasa percaya diri. Dengan sarkasan singkat, wanita itu berkata, "Kalau punya satu miliar boleh ngomong kayak gini, tapi kalau gak punya mending diem." Terakhir, @yasminjml juga merespon komentar @cleofoo dengan memperlihatkan kepercayaan diri melalui sikapnya yang tenang di dalam suatu video. Ia menjawab dalam kalimat panjang penuh sarkasme, "Benar. Value perempuan kan hanya dinilai dari kecantikannya aja. Pendidikan saya tidak penting, prestasi dan pencapaian saya tidak penting, moral dan value yang ditanamkan orang tua saya dari kecil hingga saat ini juga tidak penting. Yang penting dari perempuan kan hanya kecantikannya aja, yang dalam 10-20 tahun ke depan akan hilang. Ini sebenarnya udah basi banget untuk dibahas, tapi saya gak akan capek untuk bilang kalau perempuan itu gak cuma dilihat dari fisik dan kecantikannya aja. Jadi saya berharap kepada siapapun yang menulis komentar ini dan orang-orang yang memiliki pandangan yang sama dapat memahami bahwa banyak sekali yang bisa diapresiasi dari perempuan selain kecantikannya."

Ketiganya, baik Julia, Bu Dosen, dan juga Yasmin memiliki caranya tersendiri dalam merespon penghinaan yang mereka alami. Namun, ketiganya memiliki keberanian yang sama, yakni keberanian untuk menyuarakan pendapatnya. Keberanian itu didapatkan melalui rasa percaya diri yang tinggi dari tiap-tiap individu, sehingga ketiganya secara proaktif melakukan perlawanan terhadap pelaku penghinaan citra tubuh. Bak karma yang berputar, warganet menunjukkan dukungan yang baik terhadap ketiga kreator tersebut melalui kolom komentar di setiap video yang diunggah, dan kemudian berbondong-bondong untuk melontarkan hujatan dan cercaan terhadap pelaku penghinaan citra tubuh, persis seperti apa yang dilakukan oleh pelaku-pelaku sebelumnya, sebagai wujud sanksi sosial.

Hampir seluruh pelaku penghinaan citra tubuh yang telah mendapatkan sanksi sosial melalui serangan warganet menunjukkan reaksi yang serupa. Kebanyakan dari mereka akan menghapus komentar jahat yang sebelumnya sudah mereka ketik, kemudian berusaha untuk meredakan serangan warganet dengan cara menyembunyikan dirinya melalui akun pribadi yang dikunci (privating their accounts). Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang kehilangan akun Tiktok mereka karena telah dilaporkan beramai-ramai kepada pihak pengaduan Tiktok. Meskipun demikian, terdapat pula pelaku yang tidak merasa jera meskipun telah diserbu serempak oleh warganet.

Berangkat dari kasus-kasus yang telah dibahas, lantas bagaimanakah seseorang harus bersikap di ranah media sosial? Penting untuk menumbuhkan kesadaran diri dari setiap individu mengenai etika dalam berkomunikasi di media sosial. Netiquette atau network etiquette merupakan hal yang wajib mendapatkan perhatian lebih oleh warganet, yakni masyarakat modern yang bersosial secara virtual. Setiap individu sebagai seorang warganet, dirasa perlu untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut: bersikap konstruktif pada setiap komentar yang dilontarkan kepada perseorangan/kelompok; selalu ingat bahwa setiap individu yang bersosialisasi secara virtual adalah manusia yang memiliki perasaan; berupaya untuk mencegah terjadinya ketegangan dengan perseorangan/kelompok; belajar bijak untuk memilih kata-kata yang tepat dalam mengutarakan pendapat; belajar untuk menerima pendapat orang lain dengan pikiran terbuka; serta belajar untuk membuat batasan terhadap diri sendiri saat berinteraksi secara virtual di media sosial. Netiquette dapat dijadikan pedoman bagi siapapun yang ingin melakukan proses interaksi dan komunikasi di dunia virtual, sehingga persentase tingkat kejahatan-kejahatan digital seperti penghinaan citra diri (body shaming) dapat diminimalisir menuju tingkat yang lebih rendah.

Qhasdinna Syifa Alfiyanni

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline