Lihat ke Halaman Asli

Qey Saputra

Guru dan Penggiat Literasi

Perempuan dan Budaya Patriarki di Masyarakat

Diperbarui: 21 Mei 2024   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perempuan dan Budaya Patriarki di Masyarakat

(ADS)

Masyarakat pribumi bagian dari kelompok yang menstrukturkan pola hidup secara biner. Istilah kekuasaan akan diiringi oleh ketertindasan, istilah majikan-pekerja, dan istilah laki-laki akan diiringi oleh perempuan. Artinya bahwa masyarakat pribumi yang memiliki multikultur sebenarnya telah didominasi oleh masyarakat patriarki yang secara otomatis kekuasaan pun dikendalikan oleh kaum laki-laki. Masyarakat pribumi yang dikonstruksi sebagai citra ke-Timur-an mengeksistensikan perempuan selalu berada di belakang kaum laki-laki. Perempuan pribumi atau perempuan Dunia Ketiga yang tradisional dituntut dapat menghormati dan melayani kaum laki-laki. Oleh sebab itu, secara tidak langsung dalam hal ini terdapat ketidaksetaraan gender yang mengakibatkan perempuan tidak berdaya untuk menghadapi kekuasaan laki-laki.

Dalam ketidakberdayaan perempuan yang berawal dari sistem masyarakat terkecil yaitu keluarga, posisi perempuan diidentikkan sebagai makhluk pelengkap bagi keberadaan laki-laki. Konstruks budaya masyarakat pribumi selama ini menempatkan perempuan sebagai 'teman belakang' laki-laki yang kehidupannya hanya berkisar pada persoalan; sumur-kasur-dapur. Artinya bahwa penempatan perempuan dianggap rendah dalam kehidupan keluarga. Kehidupan perempuan dikuasai oleh kaum laki-laki atas sistem patriarki yang notabene sebagai sistem yang  merantai kebebasan perempuan dan mendukung gerak dan tindak laki-laki. Patriarki dalam hal ini merupakan suatu jenis istilah keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki. Hal ini dapat dihubungkan dalam bidang sosial yang menunjukan interaksi antara kaum laki-laki dan perempuan sangat berbeda dalam instansi keluarga. Perbedaan tersebut adalah keterbatasan perempuan dalam berinteraksi dengan orang lain karena hanya sebatas interaksi dalam keluarga dan mengerjakan pekerjaan domestik.

            Konstruksi perempuan Dunia Ketiga dalam hal ini pada masa kolonial menjelaskan bahwa posisi perempuan dapat tertindas atas kekuasaan laki-laki, baik dalam institusi sosial, institusi politik, ataupun institusi ekonomi. Oleh karena itu, ketertindasan perempuan atas kekuasaan laki-laki telah merambah ke semua aspek kehidupan dengan stigma bahwa masyarakat pribumi terhegemoni oleh sistem patriarki.

Posisi laki-laki dan perempuan memiliki ruang yang berbeda untuk memenuhi kriteria kekuasaan dalam pemikiran masyarakat. Masyarakat patriarki telah memposisikan laki-laki sebagai penguasa dan keistimewaannya sebagai kelas satu yang membawahi kaum perempuan. Sementara itu, kaum perempuan dalam posisi yang tidak setara telah dilemahkan oleh pemikiran-pemikiran masyarakat  yang menganggap subordinat dan tidak bisa mengisi kesempatan yang tersedia di tengah masyarakat. Kaum perempuan telah termarginalkan secara biologis dan psikologis sehingga ketidaksetaraan telah menyebabkan ketidakadilan yang akan menjadi permasalahan bagi kehidupan kaum feminis.

Permasalahan yang kompleks dalam kehidupan masyarakat itu sendiri berasal dari ketidakharmonisan relasi sosial antara  kaum laki-laki dan kaum perempuan. Perempuan selalu menjadi objek yang dapat dieksploitasi secara sosial ataupun seksualitas. Pada kenyataannya, perempuan adalah concrete other. Dalam hal ini gagasan concrete other dapat diartikan sebagai penerimaan atas 'yang lain' sebagai individu dengan sejarah, identitas, dan konstitusi efektif-emosional yang konkret. Perempuan terkonstruks lahir sebagai diri yang lain yang membentuk sejarah dan identitasnya sendiri. Meskipun pada dasarnya peran perempuan sama pentingnya dengan kaum laki-laki, bahkan kemungkinan kaum perempuan memiliki peran vital ang tidak bisa digantikan oleh kaum laki-laki. Namun, masyarakat patriarki telah membungkam atau mendiamkan peran tersebut supaya tidak berkembang untuk menyamakan kedudukan dengan laki-laki.

Perempuan dalam budaya patriarki biasanya mengembangkan apa yang oleh Belenky disebut sebagai "tipe diam". Perempuan bukan hanya tidak punya hak untuk mengemukakan pendapat, tetapi juga untuk berpikir. Di dalam benak perempuan, terpateri lambang kebaikan yang sudah terukir sepanjang berabad-abad sejarah. 

Pernyataan di atas merupakan kesahihan bentuk perempuan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Masyarakat patriarki mengakui bahwa kaum perempuan harus dibentuk menjadi perempuan supaya perempuan tidak bisa melawan untuk menjadi seorang laki-laki. Bahkan Simone de Beavoir mengatakan bahwa "seseorang tidak lahir sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan". Artinya bahwa ciri-ciri feminin yang menjadi identitas kaum perempuan bukan terlahir sebagai ciri biologis namun hal itu dibentuk atau dikonstruksi oleh masyarakat atau secara sosial. Kaum perempuan telah teralienasi sejak mereka terlahir ke dunia dalam ruang masyarakat. Tubuh perempuan sudah termiliki oleh orang lain bukan atas milik sendiri. Perempuan lahir telah menjadi kepemilikan orang tua khususnya ayah, kemudian perempuan mengalami tahap perkawinan yang otomatis kepemilikannya beralih kepada suaminya, dan ke tahapan-tahapan seterusnya.

Peralihan kekuasaan laki-laki atas kepemilikan 'tubuh' perempuan ini menjadikan posisi lemah bagi kaum perempuan di tengah ruang sosial. Banyak peristiwa yang memposisikan perempuan sebagai kelas dua dan subordinat sehingga kaum perempuan tidak pernah ikut campur atau tidak pernah dilibatkan dalam permasalahan di ruang publik meskipun hal itu menyangkut masalah perempuan itu sendiri. Peristiwa dalam pengambilan keputusan memilih pasangan hidup, peristiwa dalam memilih masa depan baik dalam hal pekerjaan (karier) atau pendidikan, perempuan tidak berhak menentukan sendiri tetapi semua itu ditetapkan oleh keputusan kaum laki-laki. Laki-laki telah menganggap perempuan sebagai pelengkap dan tidak menjadi vital dalam kehidupannya. Dalam perjalanan sejarah telah tercatat bahwa kaum perempuan adalah kaum kelas kedua. Posisinya telah termarginalkan dan suaranya telah terbungkam oleh kekuasaan laki-laki. Akses kaum perempuan dalam pelbagai bidang kehidupan belum terasa secara signifikan. Bahkan kehadiran dan eksistensi kaum perempuan dianggap sebelah mata.

Kaum perempuan sebagai golongan subaltern melakukan emansipasi untuk keluar dari sistem kolonial, atau bahkan sistem patriarki yang menjadi strategi kolonial dalam menomorduakan kaum perempuan. Kaum perempuan disikriminasikan pada masa kolonial dan seterusnya pascakolonial sebagai bentuk kesatuan dari budaya patriarki yang terus menancapkan kekuasaannya. Emansipasi perempuan tidak pernah berkembang karena sistem patriarki ataupun kolonial berusaha mendiamkannya dan tidak memberi kesempatan atau ruang untuk kaum perempuan. Eksistensi perempuan masih dianggap rendah dan pasif sehingga kaum laki-laki menggunakan kekuatan patriarki dan kolonial untuk menindasnya. Dominasi dan diskriminasi tersebut dipertegas dengan ajaran phalocentris, yang didasarkan atas pandangan kebudayaan yang menganggap bahwa laki-laki menjadi pusat/ norma dari relasi-relasi sosial yang ada. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline