Selamat datang bulan Juli. Di bulan Juli, umumnya menandakan awal terjadinya musim kemarau. Di bulan Juli juga awal tahun ajaran baru bagi para pelajar dan mahasiswa Indonesia akan dimulai. Selain itu, pada bulan Juli ini, genap sudah para pelajar dan mahasiswa di Indonesia menjalani proses pembelajaran dari rumah dan secara daring selama 3 semester.
Biasanya, hiruk-pikuk dunia akademis mulai meningkat di bulan ini. Mulai dari persiapan pendaftaran dan seleksi masuk sekolah untuk jenjang SD, SMP, dan SMA, hingga masa ospek dan pengenalan kampus untuk para mahasiswa baru. Belum lagi berbagai proses seleksi beasiswa pendidikan, baik dari program pemerintah maupun instansi swasta. Berbagai kesibukan para pejuang pendidikan sudah mulai terasa di awal bulan Juli ini.
"Education is a privilege" begitulah kalimat yang selalu menjadi perbincangan tak kunjung usai di kalangan pengguna sosial media. Kutipan tersebut selalu disebut-sebut dalam berbagai pembahasan. Terlebih perihal sekolah, edukasi, dan juga pencapaian dan kesuksesan seseorang. Pro dan kontra pun tidak pernah luput dari topik ini. Tapi apakah benar pendidikan itu adalah sebuah privilege?
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata privilege berarti hak istimewa. Padanan kata privilege dalam Bahasa Indonesia adalah privilese -- diserap dari privilegie (Belanda), dari bahasa Latin privilegium yang berarti 'hukum yang berpihak atau berlaku kepada individu tertentu'. Privelege yang mengacu pada hal pendidikan disini sering terdengar 'miring' karena persepsi mengenai hak istimewa ini hanya dimiliki oleh orang yang lahir di kalangan keluarga elit, dimana hal itu menjadi kunci untuk meraih kesuksesan. Padahal, privilege sendiri tidak menjamin kesuksesan, tetapi hanya memperbesar peluang meraihnya dibanding orang lain yang tidak memilikinya.
Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, dari mana pun ia berasal, apapun latar belakangnya, tanpa terkecuali. Tetapi pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang harus merelakan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan karena berbagai faktor. Salah satunya adalah karena tidak adanya hak istimewa tersebut. Mencakup ekonomi, lingkungan yang mendukung, kelompok mayoritas, akses fasilitas, serta standar beban dan tanggung jawab.
Tidak berhenti disitu, paradigma masyarakat mengenai standar proses pendidikan formal yang masih 'kolot' pun menjadi penghambat seseorang ketika menjalani pendidikan itu sendiri. Karena adanya pemikiran bahwa ruang lingkup pendidikan hanya mempelajari berbagai materi mata pelajaran. Padahal, yang menjadi ciri utama seseorang 'berpendidikan' itu sendiri justru adalah pendidikan karakter. Untuk itu, tujuan utama dari pendidikan bukanlah sekedar menambah pengetahuan, tetapi melahirkan tindakan untuk membawa perubahan yang lebih baik.
Privilege memang bukan satu-satunya penentu mudah atau tidaknya seseorang dalam meraih pendidikan yang layak, karena kualitas 'wadah' seseorang dalam proses pendidikannya itu sendiri pun memiliki peran yang cukup penting. Analogi "emas tetaplah emas di mana pun ia berada" hanyalah sebuah hipokrisi. Karena pada dasarnya tiap sekolah/universitas berbeda-beda. Lingkungan, tenaga pendidik, budaya, fasilitas, itu semua yang akan membentuk seseorang menjadi orang yang berbeda.
Tidak bisa dipungkiri juga bahwa ketika seseorang mengenyam pendidikan di suatu sekolah/universitas ternama akan membawa mereka ke banyak kesempatan yang menguntungkan. Mengingat persaingan yang ketat serta seleksi ujian yang tidak mudah, tentu saja mereka yang berhasil masuk berarti sudah memiliki standar yang memenuhi. Dengan berbagai faktor yang mendukung untuk mengembangkan potensi seseorang tentu akan menghasilkan output yang berbeda. Karena kita tidak bisa menutup mata, bahwa banyak lapangan pekerjaan yang dengan gamblang mengutamakan kandidat lulusan kampus ternama.
Tetapi itu semua akan kembali lagi pada bagaimana cara seseorang melihat kesempatan dan mengembangkan potensinya. Proses yang dijalankan dalam sistem pendidikan pada sejatinya sama, yaitu bertujuan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Hal yang paling pentingnya yaitu bagaimana motivasi dalam diri sehingga dapat meningkatkan kualitas diri seseorang. Dengan lingkungan yang mendukung, fasilitas yang memadai, tenaga pendidik yang menunjang, jika tidak ada motivasi dan tekad yang besar tentu saja itu akan percuma.
Dilansir melalui laman Medcom.id, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim mengatakan jika semua orang mampu meraih kesuksesan dengan caranya sendiri. Pada webinar di siaran langsung Youtube Tempo.co, Kamis 10 Desember 2020, dia mematahkan anggapan bahwa jaringan relasi dan hak istimewa karena lahir dari kalangan keluarga elit dapat menjamin kesuksesan seseorang. Justru menurutnya setiap orang dapat sukses tanpa memiliki dua status tersebut.
Pada hakikatnya, privilege itu seperti garis start, ibaratnya orang dengan privilege kecil mulai di km 0, sedangkan yang memiliki privilege mulai di km 90. Tujuannya sama, tetapi progress nya berbeda. Sebagaimana menurut kalimat dari Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, "Percaya, tegas, penuh ilmu hingga matang jiwanya, serta percaya diri, tidak mudah takut, tabah menghadapi rintangan apapun". Oleh karena itu semuanya tidak ada yang mustahil, tinggal bagaimana kita mengembangkan motivasi dan percaya pada potensi diri sendiri.