Baru saja kebijakan hati tampak menerima kenyataan tentang aku. Sekarang aku disibukan oleh suatu kabar yang mengenakan telinga, ketika aku mendengar perbincangan hangat yang terjadi antara tetangga rumah dengan ibuku.
Mereka sedang membicarakan sesuatu yang masih samar terdengar di telingaku. Namun, aku tahu dengan sesungguhnya, ada firasat yang sedang berbisik kepadaku bahwa titipan cinta yang saat ini bersamaku adalah alasan sesal mereka mempertanyakan siapa wanita yang aku bawa.
Dari balik pintu, sayup-sayup suara ibuku membela diriku dan Alin. Sementara mereka yang masih berdiri didepan ibuku, maunya mengeluarkan wanita yang ada dalam hatiku untuk pergi meninggalkan rumah kami.
Aku panas, amarah dalam dadaku seakan-akan menyuruhku untuk menabrak mereka yang terlalu perduli dengan kebahagiaan orang lain yang tiada lain adalah aku.
Disini didalam rumah, dibalik jendela kamar ruangan tamu kupandangi wajah mereka satu persatu, aku ingin memastikan bahwa mereka memang tidak pernah mengenal cinta, tidak pernah mengenal seperti apa itu perasaan, seperti apa itu konstitusi moral dalam menghargai setiap perbedaan antara sosial.
Jika saja bukan karena ibuku yang kupandang berada di antara mereka maka dari tadi, aku akan menyuruh mereka pergi dari depan rumahku.
"Tidak ada saja pekerjaan, selalu mau mengganggu ketenangan hidup orang lain." Kulampiaskan kekesalan emosi pada tirai gorden yang menggantung di jendela.
Hingga tanpa berpikir bahwa aku sudah merobek bawahan gorden yang baru saja dipasang oleh ibuku tadi pagi sesaat kami sampai dirumah ini.
Dalam keadaan seperti itu, memuncaklah amarah yang ada dalam dadaku. Bagaimana tidak ?! Bahkan sebagian dari mereka, karena yang aku lihat berjumlah sekitar empat orang. Dua diantaranya mengait-ngaitkan dengan kehidupan masa laluku. Mereka beranggapan bahwa aku adalah satu dari sekian laki-laki yang dengan sengaja ingin merusak kehidupan wanita dikampung ini.
Bayangkan coba, apa pantas jika bahasa-bahasa, kalimat-kalimat negatif seperti itu diucapkan dan ditujukan padaku. Mereka melabeliku sebagai laki-laki perusak masa depan wanita.
Padahal mereka lupa bahkan aku tidak ingin kehidupan seperti dulu dimana aku harus berpura-pura untuk mencintai seorang wanita dengan segenap perhatianku kucurahkan padanya namun pada titik dimana akal telah berhenti untuk memikirkan cara-cara bijaksana dalam membahagiakan nya maka karakter cinta pun berubah menjadi suatu pola tingkah laku yang aku sendiri tidak berkehendak demikian.