Lihat ke Halaman Asli

Qatrunada Safa

Mahasiswi Unida, Fakultas Humaniora, Program Studi Hubungan Internasional, yang berfokus pada mata kuliah Keamanan Internasional Semester 5

Islam Adalah Agama yang Menjunjung Tinggi Diplomasi Bersih

Diperbarui: 13 September 2022   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam studi ilmu Hubungan Internasional klasik, khasanah diplomasi memiliki ruang yang sangat eksklusif, rumit dan penuh dengan kerahasiaan yang tinggi. Diplomasi merupakan aktivitas politik yang sangat mewah, yang hanya boleh dilakukan oleh aktor yang memiliki keahlian yang luar biasa sehingga aktor tersebut berperan untuk mewakili kepentingan negara secara luas. Efektifitas praktik diplomatik dalam pencapaian kepentingan nasional, tidak ditentukan oleh keterlibatan publik dalam perumusan maupun implementasi diplomasi, melainkan lebih ditentukan oleh kinerja eksklusif dari para diplomat. 

Hal ini menimbulkan beberapa kekhawatiran di antaranya adalah mengenai mungkinkah kita mampu melahirkan sebuah clean diplomacy, yaitu diplomasi yang bersih dari pola-pola hipokratik (kemunafikan), kebohongan dan kata-kata yang tak bersumber dari nurani?Dan apakah sejarah telah memberikan bukti yang nyata bahwa diplomasi yang bersih itu telah melahirkan manfaat bagi semua pihak?. Semua pertanyaan ini akan dapat dijawab jika kita menganalisa menganalisa beragam situasi yang dihadapi Muhammad pada masa hidupnya, yaitu pada saat-saat beliau mengadakan pendekatan dan strategi dalam berbagai persoalan, baik dalam masa damai maupun dalam situasi perang. Yang pada akhirnya akan menghasilkan kesejahteraan manusia secara umum. Dan pada saat yang sama Muhammad tidak menyimpang dari misi kerasulan dan pengemban moral yang sangat tinggi yang Allah bebankan kepadanya.

Apa yang dimaksud dengan diplomasi sekarang adalah sebagaimana Kamus Oxford mendefinisikan yaitu: sebagai sebuah manajemen hubungan negosiasi internasional dengan cara pengiriman duta besar dan utusan resmi negara. Dengan kata lain diplomasi adalah bisnis dan seni para diplomat. Sedangkan diplomasi pada masa Muhammad adalah manajemen hubungan antargolongan. Perbedaan yang mendasar adalah, bahwa pada masa Muhammad belum ada istilah negara-bangsa, diplomat dan internasional, melainkan berupa golongan masyarakat, para arbiter/penengah, dan masyarakat luar. Namun, konsep negosiasinya sama, yaitu mengenai bagaimana caranya menyelesaikan sengketa atau segala persoalan yang mengemuka di antara golongan masyarakat yang ada. 

Dalam konteks pembicaraan diplomasi yang mendahului diplomasi modern, kita perlu mengangkat studi tentang diplomasi Islam. Beberapa tujuan diplomasi utama adalah menciptakan solusi damai dan promosi harmonisasi antarnegara. Akan sangat menarik kiranya untuk melihat bagaimana Rasulullah, yang saat itu sebagai "kepala negara", telah berhasil menggapai tujuan lewat cara-cara diplomatik yaitu lewat negosiasi, konsiliasi, mediasi dan arbitrasi (juru penengah). Memang telah banyak riwayat dan catatan mengenai kehidupan Nabi yang ditulis tetapi patut disesalkan penonjolan sisi kehidupan Muhammad sebagai seorang negosiator ulung begitu sedikit. Namun, jika kita melihat dan menelaah Al-Quran dan Sunnah/ Hadits dengan tajam, maka kita akan mendapatkan di dalamnya dasar-dasar diplomasi.   

Pengertian bersih dalam diplomasi adalah menunjuk pada diplomasi yang bebas dari penyimpangan, artinya; pelaksanaan diplomasi harus sesuai dengan yang diidealkan. Apa yang dilaksanakan harus sedapat mungkin sesuai dengan yang diharapkan. Setidaknya ada dua idealita dalam diplomasi, lebih tepat lagi dalam negosiasi, yaitu kepentingan internal berupa konsep kepentingan nasional, dan idealita eksternal yaitu hukum dan rezim internasional. Dalam perspektif Islam pengertian diplomasi bersih terkait dengan konsistensi tanggungjawab kepada umat, sesuai tuntunan AlQuran dan Hadits. Dalam pengertian itu, pelaksanaan diplomasi didasarkan pada upaya mengedepankan kepentingan umat, bukan kepentingan elitnya saja, sesuai dengan yang tercantum dalam Al Quran dan Hadits, yang intinya agar dapat bermanfaat kepada semua pihak, rahmatan lil 'alamin, baik bagi diri sendiri, bagi musuh maupun bagi alam semesta. Konsep rahmatan lil 'alamin membedakan diplomasi Islam yang bersih dan egaliter dari diplomasi konvensional yang hipokrit dan hanya mencari keuntungan nasionalnya sendiri. Islam memperkenalkan satu perubahan yang revolusioner yang menancapkan prinsip hukum internasional dan diplomasi.

Islam dengan tegas menyatakan persamaan antarmanusia, seperti yang diamanatkan dalam Al Qur'an, "Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal. " (QS Al-Hujuraat 49:13). 

Dengan demikian konsep bersih dalam diplomasi harus dimaknai sebagai konsistensi idealita dengan pelaksanaan diplomasi bagi kepentingan semua pihak yang terlibat dalam sengketa. Negosiasi bersih dalam diplomasi haruslah memenuhi asas akuntabilitas, transparan dan adil baik bagi diri sendiri maupun pihak lawan sesuai dengan rezim internasional yang berlaku.  

Beberapa prinsip negosiasi berikut ini yang akan dikomparasikan dengan prinsip-prinsip negosiasi Islam. Ada 7  hal penting yang perlu diperhatikan dalam negosiasi, yaitu:

 1. Melihat situasi dari perspektif lawan. Anda tidak harus setuju dengan persepsi mereka tetapi penting untuk memahami apa yang mereka pikir dan rasakan. 

2. Jangan mengesampingkan perhatian lawan berdasarkan kekhawatiran anda. Merupakan hal yang biasa bahwa lawan anda akan melakukan hal-hal yang anda khawatirkan. Kecurigaan semacam ini mempersulit anda untuk memahami apa yang sebenarnya mereka mau, dan apa yang mereka lakukan selalu anda anggap buruk. 

3. Jangan sampai (hindarkan) menyalahkan pihak lawan dalam kasus yang bersangkutan. Walaupun ada faktanya, menyalahkan orang lain hanya mengakibatkan lawan anda bersikap bertahan(defensive), jika anda membuat kesalahan maka lawan anda balik menyalahkan anda. Menyalahkan pihak lain merupakan hal yang counter-productive. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline