Media sosial tentu sudah bukan merupakan hal yang asing di telinga masyarakat, terutama para remaja. Banyak orang yang kini sudah menggunakan media sosial untuk kepentingan komunikasi mereka dengan jaringan internet tanpa dibatasi ruang dan waktu (Triananda et al., 2021). Dengan adanya media sosial, kini masyarakat dapat berkomunikasi secara tidak langsung, maksudnya adalah, seseorang tidak perlu bertemu dengan orang lain hanya untuk melakukan komunikasi. Komunikasi pada media sosial terbilang bentuk komunikasi modern, karena pada dasarnya pengirim pesan dapat mengirim pesan pada waktu yang ditentukan, serta penerima pesan akan mendapat pesan pada waktu pengiriman. Ini salah satu bentuk perkembangan teknologi dan alat komunikasi yang memudahkan masyarakat dalam berinteraksi. Selain dapat dimanfaatkan sebagai alat komunikasi, media sosial juga dapat dimanfaatkan sebagai alat melakukan aktivitas sosial masyarakat. Bahkan banyak masyarakat, terutama para remaja yang menggunakan media sosial sebagai sumber penghasilan mereka. Entah dengan membuat video hasil kreasi, atau menjual karya mereka melalui media sosial. Meski begitu, banyaknya keuntungan dan manfaat yang diterima dari adanya media sosial dengan kebebasan jaringan internet tak menutup kemungkinan adanya dampak buruk yang dapat timbul dari penggunaan media sosial. Dengan jaringan internet yang tak terbatas, jika seseorang tak bisa menggunakan media sosial sebagaimana mestinya, tentu dapat menimbulkan dampak negatif untuk dirinya sendiri atau bahkan orang lain. Maka dari itu, bagaimana media sosial dianggap mempengaruhi dan menguasai dalam artian yang baik atau buruk tergantung bagaimana orang itu menggunakan media sosial.
Media Sosial sebagai Ruang Kekuasaan Baru
Melihat bagaimana bebasnya jaringan internet yang dapat diakses melalui media sosial, tentu menjadi sebuah pertanda bahwa sebagai pengguna, masyarakat harus bisa mengontrol informasi yang didapat. Apabila masyarakat membiarkan informasi-informasi dari media sosial masuk tanpa mengontrol dan memilahnya, itu akan memberikan dampak buruk, seperti terjadinya penyebaran hoax atau berita palsu. Dengan begitu, maka kekuasaan yang dimiliki oleh media sosial akan terkesan buruk karena menimbulkan dampak buruk dari kelalaian manusia. Namun, jika masyarakat menggunakan media sosial dengan bijak, dengan memilah informasi yang didapat, tentu media sosial akan menjadi hal yang baik. Media sosial tentu berperan cukup kuat dalam menarik rasa keingintahuan atau bahkan rasa empati masyarakat. Banyak orang menggunakan media sosial sebagai tempat untuk melakukan gerakan sosial. Sebagai contoh, gerakan-gerakan sosial yang seringkali dilakukan di media sosial adalah melakukan tindakan seperti memasifkan hastag hastag atas suatu topik hingga membuatnya menjadi topik pembicaraan utama. Contoh nyata yang telah banyak dilakukan adalah pembuatan hastag untuk memboikot beberapa produk yang terbukti melakukan dukungan kepada Israel, guna memberikan sanksi sosial serta jera pada produk-produk tersebut. Maka dari itu, sangat jelas bahwa algoritma dalam media sosial sangat berperan penting dalam membentuk wacana publik. Sehingga hal itu menjadikan media sosial memiliki kuasa atas bagaimana publik menilai.
Pengaruh Media Sosial terhadap Budaya
Sebagai salah satu akses internet yang tak memiliki batasan, media sosial tentu akan dengan sangat mudah memberi ruang bagi budaya-budaya baru dari luar untuk masuk dan menjadi tren dalam waktu sekejap. Menurut Harahap, Firman & Ahmad (2021), Soerjono menyatakan bahwa perubahan sosial adalah seluruh perubahan yang terjadi dalam suatu lembaga masyarakat pada kemasyarakatan dengan mengubah bentuk sosial yang ada pada masyarakat. Contohnya adalah dengan masuknya budaya pop yang ramai di kalangan remaja. Kini banyak sekali remaja yang mendengarkan dan menyukai lagu-lagu bergenre pop, atau bahkan mengidolakan artis-artis yang menyanyikannya. Sebagai contoh nyata adalah masuknya gelombang Korea yang kini semakin sering dijumpai penggemarnya. Banyak dari remaja yang bahkan mengidolakan artis-artis K-pop, bahkan sampai mengikuti style idolanya yang dapat disebut K-fashion. Hal ini terjadi tentu karena mayoritas penggemar K-pop sangat aktif dalam menggunakan media sosial, sehingga banyak orang yang terkena gelombang Korea itu melalui algoritma media sosialnya. Tentu perlu diketahui, sebagai pengguna media sosial, kita tentu tetap harus bijak. Tak ada salahnya untuk menyukai K-pop atau bahkan menggunakan K-fashion. Namun, jangan sampai hal ini menghilangkan budaya asli kita. Dengan media sosial, kita juga bisa ikut memasarkan atau membuat budaya asli kita, budaya Indonesia, agar tak kalah terkenal dengan budaya luar yang juga masuk ke dalam budaya kita. Kita dapat membantu membuat budaya Indonesia terkenal dengan cara mempromosikan kebaya, atau lagu-lagu Indonesia ke khalayak yang lebih luas dalam global.
Di luar sekuat apa Korean Wave yang masuk ke dalam budaya Indonesia, ada pula gerakan budaya yang kritis seperti topik pembicaraan mengenai body positivity, feminisme, dan anti-rasisme. Hal-hal ini juga tak kalah ramai dibicarakan di media sosial, lagi-lagi karena kekuasaan algoritma dari media sosial yang dapat menyetir pandangan publik. Topik pembicaraan itu tentu membentuk pandangan baru bagi publik. Namun, topik ini bisa juga membuat terjadinya perpecahan apabila masyarakat tidak bisa mengontrol perilaku mereka dalam menyuarakan hal-hal yang menjadi topik pembicaraan ini. Topik seperti ini tentu tak semua orang berada di pihak yang pro dengan pembahasannya, pasti akan ada orang yang berada di pihak kontra, sampai bisa menimbulkan pertikaian. Maka dari itu, pengontrolan dalam menggunakan media sosial sangat diperlukan, karena media sosial dapat dengan mudah menyetir opini publik tanpa adanya batasan yang pasti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H