Saya masih ingat sekali, mulai dari dua minggu sebelum bulan Ramadhan tiba, akan banyak sekali undangan atau atur-atur datang ke rumah sederhana kami. Undangan untuk bapak itu datang hampir tiap hari.
Biasanya undangan tersebut datang di siang atau sore hari. Dan di malam harinya, bapak kami akan pergi menghadiri undangan tersebut. Lalu, saya dan adik akan dengan hikmat menunggu kepulangan bapak membawa berbagai makanan ringan. Tertulis dengan rapi hajat yang akan dilakukan empunya rumah, yaitu Megengan.
Megengan adalah tradisi suku Jawa untuk menyambut bulan Ramadhan. Dalam Bahasa Jawa, megengan berarti menahan atau ngempet. Dengan datangnya bulan puasa, megengan berperan sebagai pengingat bahwa kita perlu menahan segala sesuatu yang dapat merusak ibadah puasa.
Tradisi ini juga menjadi ajang memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan. Rasa syukur ini terwujud dalam sedekah berupa makanan yang diberikan kepada saudara dan tetangga sekitar.
Dilansir dari Kompas, megengan merupakan penggabungan budaya Jawa dan budaya Islam yang dilakukan Walisongso saat menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Akulturasi ini bertujuan agar Islam dapat diterima oleh masyarakat. Pada masa itu, di Jawa terdapat budaya menghantarkan sesajen, kemudian para Wali mengganti kegiatan tersebut dengan mengantarkan makanan.
Tradisi megengan biasanya diawali dengan ziarah kubur. Dalam bahasa Jawa, hal ini bernama nyekar. Masyarakat akan datang untuk membersihkan dan menaburkan bunga ke kuburan para leluhur yang sudah berpulang terlebih dahulu. Tak lupa, masyarakat juga akan berdoa agar mereka diberikan tempat yang terbaik.
Di malam harinya, tetangga dan masyarakat sekitar akan diundang untuk memanjatkan doa di rumah.
Megengan ini tidak hanya dilakukan oleh masing-masing rumah, tetapi juga dilakukan secara bersamaan di mushola, masjid, ataupun lapangan. Biasanya, masyarakat akan membawa sejumlah makanan ke masjid dan dikumpulkan sebelum acara. Acara dilanjutkan dengan doa bersama dan membagikan makanan secara random.
Kue Apem, Si Sajian Wajib