Lihat ke Halaman Asli

Putu Suasta

Alumnus UGM dan Cornell University

Populisme Politik Pangan Indonesia

Diperbarui: 21 Agustus 2022   01:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seandainya food estate berhasil mencapai target kita tetap sangat rentan terhadap gejolak harga pangan dunia karena ketertangungan masyarakat terhadap makanan-makanan berbahan impor. (ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A via KOMPAS.com)

Pada artikel sebelumnya (untuk membaca artikel klik di sini) saya telah menguraikan secara sosiologis proses panjang ketergantungan industri makanan di Indonesia pada gandum dan bahan-bahan pangan impor lainnya. Ketergantungan itu semakin besar kalau kita menelusuri lagi penggunaan gandum untuk sektor peternakan. 

Dari berbagai sumber yang didapatkan penulis, produsen pakan ternak kerap mengganti jagung (di saat langka dan mahal) dengan gandum sebagai sumber karbohidrat dalam susunan pakan modern (pabrikan).

Beberapa tahun lalu, kelangkaan jagung dengan mudah diatasi dengan membuka keran impor sebesar-besarnya. Bagi produsen pakan pabrikan, jagung impor memberi keuntungan ganda yakni dari segi ekonomi (harga lebih murah) dan dari segi kualitas (lebih baik dari kualitas jagung lokal). 

Praktek ini membuat para petani jagung dalam negeri menjerit karna harga jagung lokal terjun bebas hingga tak sepadan dengan ongkos produksi.

Di mata politisi populis, jeritan masyarakat adalah tambang pencitaraan. Maka solusi yang dihasilkan pun lebih bernuansa populis tanpa visi jangka panjang.

Keran impor jagung dibatasi dengan sangat ketat. Harga jagung lokal melonjak tinggi dan seringkali menjadi langka. Ini soulsi jangka pendek yang menghasilkan pujian setinggi langit. Tapi segera tiba waktunya harga jagung lokal turun hingga di bawa titik impas harga produksi karna produsen pakan pabrikan segera mencari alternatif dari jagung yang semakin sulit dikendalikan harga dan ketersediaannya. 

Pilihannya jatuh ke gandum. Karena itulah impor gandum Indonesia membubung tinggi dalam beberapa tahun terakhir dan stok gandum dalam negeri terus menipis.

Kebijakan proteksionisme melalui pembatasan impor secara ketat tentu saja langkah yang baik. Tapi tanpa dibarengi dengan upaya-upaya pengurangan ongkos produksi di tingkat petani, kebijakan seperti itu tidak akan bisa bertahan dalam jangka panjang. Perlu intervensi serius dari pemerintah untuk membuat produk pertanian tetap dapat menyejahterakan petani tanpa harus melambungkan harga.

Teknologi pertanian Indonesia yang tertinggal jauh, SDM petani yang kurang memadai untuk menjalankan usaha agrikultur modern dan harga-harga pupuk, pestisida serta kebutuhan-kebutuhan pertanian lainnya yang relatif mahal, membuat ongkos produksi di tingkat petani menjadi tinggi. Intervensi pemerintah semestinya juga mencakup proses produksi di tingkat petani tersebut melalui penyediaan alat-alat modern, penyuluhan pertanian, subsidi pupuk dan sebagainya. 

Dengan demikian petani tetap dapat menikmati keuntungan yang menyejahterakan tanpa melambungkan harga produk. Tanpa langkah-langkah tersebut, pembatasan impor hanya solusi jangka pendek dan hanya alat politik populisme (pencitraan).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline