Lihat ke Halaman Asli

Putu Suasta

Alumnus UGM dan Cornell University

Ancaman Ideologi Transnasional Bukan Isapan Jempol

Diperbarui: 6 Juli 2022   14:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pemateri FGD: Putu Suasta,  Komjen (purn)Mangku Pastika,Dr. Donder,Baskara,Wiratmaja,Dr Dewa Gde Palguna/ DokPri

Dalam FGD yang diselanggarakan Lemhanas di Bali minggu lalu, semua pemateri dan peserta menunjukkan kekahwatiran serius atas perkembangan idiologi transnasional di Indonesia. Kajian-kajian dari berbagai sudut pandang dan keilmuan yang dibahas dalam FGD tersebut menegaskan bahwa keberadaan kelompok-kelompok pengusung idologi transnasional dan upaya-upaya penyebaran idiologi tersebut melalui berbagai cara dan media mesti mendapatkan perhatian serius dari aparat.

Keterlambatan dalam mengantisipasi dan menindak para aktor penyebar idiologi tersebut, dapat menyebabkan kerusakan mendalam bagi keutuhan NKRI. Beberapa negara di dunia hingga sekarang dilanda konflik sosial berkepanjangan bahkan beberapa telah jatuh ke dalam perpecahan karena terlambat mengantisipasi perkembangan idiologi transnasional.

Sebagai salah satu pemateri dalam FGD tersebut, saya memberi perhatian lebih pada kerentanan generasi milenial terpapar idiologi transnasional. Kelompok umur ini menempati populasi terbesar dalam statistik penduduk Indonesia saat ini. Kendati lebih mudah mengakses informasi dan lebih piawai mengoperasikan teknologi informasi, kelompok ini ternyata sangatrentan terhadap hasutan karena berada dalam fase pencarian jati diri. Mereka merupakan target utama kampanye idiologi-idiologi radikal melalui media digital maupun melalui media konvensioanl (ceramah).

Tapi sebelum menguraikan lebih jauh poin ini, penting terlebih dahulu diberi batasan pengertian idiologi transnasional.

Mengacu pada batasan pengertian yang dirumuskan oleh Lemhanas, kategori sebuah idiologi layak dimasukkan sebagai transnasional adalah jika memiliki jejaring di beberapa negara dan memiliki cita-cita menguasai dunia. Sejauh ini yang paling valid masuk dalam kategori tersebut adalah idiologi khilafah sekalipun ancaman idiologi-idiologi lain seperti Marxsisme layak diwaspadai.

Isu ekspansi idiologi khilafah di Indonesia bagi sebagian orang (terutama pelaku politik identitas) masih persoalan sepele yang dibesar-besarkan sebagai strategi politik. Tapi FGD minggu lalu membuktikan bahwa pandangan seperti ini sama sekali tidak berdasar.

Mari kita ambil contoh pada kasus terbaru yakni aksi konvoi pengikut Khilafatul Muslimin di sejumlah kota yang viral di media sosial. Aksi konvoi tersebut  membuat banyak orang tersentak karena idologi yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila tersebut dipertontonkan dan dipromosikan secara terbuka, terang-terangan dan disebarluaskan di media sosial.

Sekalipun sejauh ini Khilafatul Muslimin belum memiliki kaitan dengan aksi teror atau tindakan garis keras lain, pertunjukan eksistensi mereka secara terbuka bagi banyak orang merupakan sebuah pernyataan ancaman. Mereka seakan-akan mengkonfirmasi kekahwatiran banyak orang selama ini tentang masih bersemainya bibit-bibit radikalisme.

Sejumlah kampus disinyalir telah terpapar paham radikalisme. Sejumlah penceramah gemar menyelipkan paham-paham radikalisme dalam ceramah  mereka. Isu-isu itu telah lama menjadi perbicangan di media sosial dan kemunculan Khilafatul Muslimin menegaskan bahwa semua isu tersebut benar adanya. Khilafatul Muslimin seakan menegaskan bahwa ada banyak orang di belakang mereka sehingga bisa menjalankan lembaga-lembaga pendidikan di berbagai daerah secara gratis mulai dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi.

Keberanian Khilafatul Muslimin dan organisasi sejenis untuk menonjolkan diri dan seakan menantang aparat hukum bisa saja mendatangkan kekaguman bagi sebagian masyarakat terutama kaum milenial yang tengah berada dalam fase umur pencarian jati diri. Di tengah minimnya figur-figur yang dapat dijadikan sebagai teladan sosial, tokoh-tokoh garis keras bisa menjadi pilihan alternatif menarik bagi generasi milenial untuk dijadikan panutan karena mereka menunjukkan konsistensi antara perkataan, sikap dan perbuatan. Berbeda dengan tokoh-tokoh politik dan figur-figur publik lain yang selama ini sering mereka saksikan inkonsisten antara perkataan, sikap dan perbuatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline