Lihat ke Halaman Asli

Putu Suasta

Alumnus UGM dan Cornell University

Demokrasi yang Rapuh, Tantangan Terberat Joe Biden-Kamala Harris

Diperbarui: 26 Januari 2021   08:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Joe Biden-Kamala Harris (Sumber: indianapublicmedia.org)

Ketika menyaksikan pelantikan Joe Biden-Kamala Harris 5 hari lalu, saya segera membayangkan beban berat yang akan segera diemban presiden dan wakil presiden baru AS tersebut. Mereka mewarisi ekonomi yang benar-benar compang camping.

Sebagai gambaran, Trump merupakan presiden pertama sejak 1939 yang mengakhiri pemerintahannya dengan pertumbuhan negatif penyerapan tenaga kerja (The Jakarta Post, 20/01/20). Tapi bukan itu tantangan terberatnya.

Sebagaimana disorot Joe Biden secara lebih tegas dalam pidato pelantikannya, masalah terbesar yang mesti diatasi pemerintahannya adalah demokrasi yang tak jelas lagi batas-batas, garis demarkasi atau rambu-rambunya.

Dengan kata lain, Joe Biden dan Kamala Harris mewarisi sebuah demokrasi yang "kebablasan" dan dengan itu semakin terang kerapuhan demokrasi sebagai sebuah sistem politik, bahkan di sebuah negara yang mengklaim diri "puncak pencapaian peradaban dunia".

Masyarakat yang Terbelah

Dalam pidato pelantikannya, Biden berjanji akan menjadi presiden bagi semua warga AS. Janji tersebut semakin menegaskan opini global saat ini bahwa AS sedang mengalami keterpecahan yang parah sebagai ekses dari gaya berpolitik "adu-domba" yang diterapkan Trump dengan berlindung pada kebebasan demokrasi.

Melalui saluran-saluran komunikasi yang dimungkinkan oleh demokrasi, Trump berhasil memelihara fanatisme pendukungnya terutama golongan kulit putih kelas menengah ke bawah yang merasa tersingkir oleh pertumbuhan ekonomi yang lebih eksklusif.

Trump barangkali dapat disebut sebagai salah satu politisi tercerdik dalam pemanfaatan media untuk "membakar" emosi massa pendukungnya. Dengan gigih dia merawat cerita bahwa kejayaan telah dicuri dari masyarakat kulit putih dan tugasnya adalah mengembalikan kejayaan tersebut. 

Karena itulah tagline pemerintahannya "Make Amerika Great Again" lebih bernuansa rasial (white supremacy) daripada sebuah semboyan kebangsaan. Itu dilakukannya dengan klaim-klaim yang belum terbukti benar.

Menurut perhitungan Washington Post, sepanjang pemerintahannya Trump telah mengeluarkan 30.573 klaim palsu atau misleading (24/01/20). Para pendukung fanatiknya menerima begitu saja semua klaim-klaim tersebut tanpa memeriksa kebenaranya dan dengan itu mereka mengabaikan fakta-fakta kegagalan pemerintahan Trump.

Dia menggiring para pendukungnya untuk hidup dalam "echo chamber". Maka kita bisa memahami mengapa dia tetap berhasil mengumpulkan 74 suara warga AS sekalipun fakta-fakta kegagalan pemerintahnya telah terbuka demikian terang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline