Pekan ini perhatian mayoritas warga dunia tertuju pada penghitungan surat suara Pilpres AS yang disiarkan secara live oleh berbagai media. Kita tahu, Joe Biden mengunci kemenangan setelah mengumpulkan lebih dari 270 electoral college votes berdasarkan perhitungan sementara lembaga-lembaga yang kredibel. Tapi bagi penulis, jauh lebih menarik menelisik arti kekalahan Donald Trump daripada mendiskusikan prospek pemerintahan Joe Biden.
Selama pemerintahan Donald Trump, wajah AS tampak sangat berbeda. Kita hampir tidak percaya bahwa negara yang dikenal sebagai salah satu kiblat demokrasi tersebut menjadi tempat yang tidak nyaman bagi kelompok-kelompok minoritas.
Kita tahu, dalam 4 tahun terakhir AS tak henti-hentinya mempertontonkan kekerasan berbau rasisme, perlakuan sewenang-wenang kepada minoritas dan mobilisasi kebencian berbau primordial.
Saya tidak mengatakan bahwa sebelum pemerintahan Donald Trump, masalah-masalah rasisme sudah tidak ada di AS. Setidaknya berdasarkan pengalaman penulis tinggal beberapa tahun di AS selama menyelesaikan studi paska sarjana, gesekan-gesekan kecil berbau rasisme masih kerap terjadi di tingkat akar rumput.
Tapi di bawah pemerintahan Donald Trump, masalah-masalah seperti itu menjadi lebih besar bahkan tak jarang melibatkan aparat negara yang memicu protes besar-besaran.
Tampak jelas ada usaha mobilisasi sentimen primordial yang kemudian dikapitilisasi secara politik. Kebijakan-kebijakan dan pernyataan-pernyataan provokatif Donald Trump sebagai presiden merupakan besin yang menyulut berkobarnya api rasisme di AS.
Simpati dan Koalisi Masyarakat Sipil
Dengan situasi sosial politik di atas, orang-orang yang memiliki kepedulian pada hak-hak sipil, nilai-nilai pluralisme dan toleransi, semakin cemas dari hari ke hari menyaksikan bagaimana Trump menjalankan pemerintahannya. Kemudian muncul kehawatiran lebih besar bahwa Trump akan berhasil mempertahankan kekuasaannya.
Maka dalam 1 tahun terakhir semakin banyak orang yang tergerak memamfaatkan jejaring sosial untuk mengetuk hati mereka yang memiliki hak pilih di AS agar tidak menjatuhkan pilihan mereka kepada tokoh yang tak mempedulikan nilai-niai pluralisme dan toleransi.
Bahkan baru-baru ini kita menyaksikan bagaimana para remaja yang tergabung dalam fans club K-Pop di AS mengelabui tim kampanye Donald Trump sebagai bentuk simpati mereka kepada para korban perlakuan rasisme.