Lihat ke Halaman Asli

Putu Shinta Aiswarya

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Hanya "Curahan Hati" dari Seorang Anak Perempuan

Diperbarui: 26 Mei 2022   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler


"kamu tuh cewek, harus bisa masak, nyuci, ngepel, pinter sekolah, nanti kalo mertuamu marah-marah ya orang tua yang malu karena gagal mendidik kamu!" Stereotif macam ini sering dijumpai di kehidupan. Banyak cuitan di media sosial yang kerap menggelitik karena yang diposting adalah fakta. Saya sebagai perempuan juga turut menyadari hal tersebut.  Apalagi kalau di keluarga yang notabenenya lingkungan utama yang sering berinteraksi dengan kita. Disana kita dituntut untuk bisa melakukan segalanya, mulai dari mengurus pekerjaan rumah, mengajari anak atau adik-adiknya, membantu orang tua, bangun pagi, belum lagi jika harus bekerja, dsb. Banyak perspektifnya, ada yang sebagai menantu, anak, atau istri.
Namun saya ambil dari perspektif anak perempuan, karena kebetulan saya adalah anak sulung perempuan. Beban yang ditanggung sangat berat, kita sebagai role model adik-adik kita dan dituntut untuk dapat menjadi yang sempurna. Sukses dalam pendidikan dan karir, atau bahkan ada yang dinikahkan duluan karena factor lain. Menjadi anak perempuan sangatlah sulit, tiap hari kita diikat dalam aturan rumah yang tidak kita buat sendiri, memang aturan itu penting untuk kedisiplinan, tapi jika sudah terlalu mengekang dan kita menjadi tidak nyaman, ujung-ujungnya semua akan memberontak.
Belum lagi pagi-pagi buta sudah harus bangun, sedangkan anak laki-laki dibiarkan tertidur nyenyak hingga siang hari. Hal semacam ini adalah hal kecil, namun berdampak besar pada psikologi anak. Bukannya makin disiplin, tapi anak akan makin sadar jika dirinya dipilih kasihkan. Anak laki-laki atau perempuan adalah sama, harusnya diperlakukan sama. Bukan maksud saya menjelekkan para orang tua yang mendidik anaknya seperti ini, namun saya rasa hal ini tidak akan baik bagi perkembangan anak perempuan.
Apakah para orang tua tau bahwa anak perempuannya diam-diam menangis di tengah malam hanya karena lelah akan beban yang dipikulnya? Pernahkah orang tua tahu kalau ia selalu berusaha menjadi yang terbaik meskipun dirinya tidak pernah dianggap? Jangankan dianggap, dia sudah bersih-bersih di rumah saja kadang akan mendapat ocehan "anak cewek gak pernah bersih-bersih". Tolong sekali untuk dimengerti kepada orang tua bahwa anakmu ini sudah menyapu, mengepel, dan kalian masih saja mengatakan bahwa ia belum mengambil pekerjaan apapun. Jika sakit pun dan istirahat sebentar terkadang langsung dibilang pemalas. Tidur siang sedikit dibilang pemalas. Lantas kapan anak perempuanmu istirahat?
Kami bukan buruh di rumah sendiri. Kami bukan alat rumah tangga yang bisa mengambil pekerjaan rumah terus menerus, meski kami tahu itu kewajiban kami, tapi tolong jika menyuruh kami jangan menaikkan nada bicaramu karena itu sangat menyakitkan. Terlebih lagi menahan tangis jika dibentak di depan orang rumah atau bahkan orang luar, itu sangat menyakitkan. Tidak akan ada siapapun yang bisa tahan diperlakukan seperti itu.
Tolonglah sebagai orang tua jangan apatis terhadap kesehatan mental anaknya. Jangan merasa diri paling sempurna lantas menuntut anak untuk membalas budi hanya karena kalian yang melahirkannya kedunia. Anak perempuannya pun tidak pernah menuntut untuk dilahirkan di keluarga kalian, bukan? Lantas apa yang kalian pikirkan hingga tega berlaku seperti itu. Saya tahu maksudnya baik, agar anak kalian menjadi mandiri, apalagi mereka adalah anak perempuan. Tapi apakah pernah kalian mengajaknya duduk dan berbicara sejenak? Mengajaknya bersenda gurau? Atau bahkan menanyakan apakah ada PR atau tidak? Malah kebanyakan mereka hanya  menggerutu karena anak perempuannya tidak  mengambil pekerjaan rumah dan membantunya menyelesaikan sesuatu. Sungguh ironi yang menyesakkan.
Kesehatan mental di Indonesia nyatanya belum di tegaskan dan system parenting disini masih menerapkan system primitive dan terkesan memaksa. Bukannya malah menjadikan sang anak tumbuh mandiri, namun malah tumbuh dengan rasa dendam dan trauma berat akan orang tuanya. Orang tua yang harusnya menjadi tempat "pulang" yang sesungguhnya, justru malah menjadikannya asing. Tidak heran jika saat ini banyak kasus pergaulan bebas yang dilakukan secara sadar oleh anak perempuan hingga meningkatkan kasus aborsi di Indonesia. Belum lagi mereka akan menjadi pembangkang, bahkan jika sangat tidak kuat ia akan pergi dari rumah yang harusnya tempat ternyaman baginya. Lantas, siapa yang akan disalahkan? Anak perempuan? Tidak. Pola didik orang tua yang harus disalahkan, dan ini adalah tamparan keras, apakah orang tua sadar atau tidak bahwa mereka telah menghancurkan mental anaknya sendiri?
Kodrat wanita hanya 3, yakni menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Dan hal ini nyatanya tidak diindahkan. Anak laki-laki masih saja dimanja karena sebagai pewaris atau sebagai anak kesayangan atau apapun yang mereka anggap. Sangat jarang terjadi anak laki-laki yang disuruh membersihkan rumah oleh orang tuanya, bahkan makan pun harus disuapi hingga dewasa. Anak perempuan boro-boro, makan sebentar saja dibilang pemalas.
Kapan orang tua akan sadar terhadap hal ini, sudah banyak psikolog atau orang lain yang speak up terhadap hal ini. Jika kalian ingin anak kalian berbhakti, memiliki inisiatif tinggi, berpendidikan, dan berkelas kalian harus merubah pola didikan kalian. Jangan menjustifikasi anak karena mereka belum tahu apa yang ada dan penyebab masalah itu apa. Sudah sepantasnya hal tersebut dijadikan renungan dan introspeksi diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline